Langsung ke konten utama

Zero Terrorist Attack Bukan Jaminan, Waspada Tetap Harus Ditingkatkan

Jaga Indonesia dari Bayang-Bayang Teror: Antara 'Zero Attack' dan Ancaman yang Bermetamorfosis

Halo semuanya, selamat datang kembali. Kita bicara soal keamanan, soal bagaimana kita, sebagai bangsa, menghadapi salah satu ancaman paling mengerikan di zaman modern: terorisme. Ini bukan topik yang enteng, tapi ini topik yang harus kita bicarakan, yang harus kita pahami bersama, dan yang harus kita sikapi dengan penuh kewaspadaan. Ada berita yang, di satu sisi, sangat melegakan, tapi di sisi lain, menyimpan peringatan keras.

Bayangkan ini: dua tahun terakhir. Sepanjang itu, Indonesia, negara kita, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, negara yang pernah sangat menderita akibat serangan teroris, mencatat sesuatu yang luar biasa. Nol serangan. Ya, nol. Zero terrorist attack. Ini adalah pencapaian yang, saya rasa, patut kita apresiasi, kita hargai, karena ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Ini hasil kerja keras banyak pihak, hasil kewaspadaan, hasil upaya yang tak henti-hentinya.

Tapi, dan ini bagian pentingnya, apakah angka nol itu berarti ancamannya sudah tidak ada? Apakah kita bisa menarik napas lega sepenuhnya, santai, dan berpikir bahwa masalah ini sudah selesai? Sayangnya, tidak. Sama sekali tidak. Justru, para ahli mengingatkan kita, angka nol ini justru harus menjadi pemicu untuk meningkatkan kewaspadaan, bukan menurunkan. Mengapa begitu? Mari kita bedah bersama.

Melihat Angka 'Nol': Apa Artinya dan Apa yang Disembunyikan?

Ketika kita mendengar 'nol serangan teroris dalam dua tahun', itu, di permukaan, terdengar seperti kemenangan besar. Dan memang ada elemen kemenangan di sana. Ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan, penindakan, dan deradikalisasi mungkin berjalan efektif dalam jangka waktu tersebut. Ini menunjukkan bahwa ruang gerak kelompok teroris untuk melakukan serangan – serangan yang menimbulkan korban, yang menciptakan ketakutan di tengah masyarakat – telah berhasil dipersempit, setidaknya untuk sementara waktu. Ini adalah cermin dari kemampuan aparat keamanan, intelijen, dan juga peran serta masyarakat dalam menjaga lingkungan agar tidak menjadi sasaran empuk.

Namun, para ahli mengingatkan, angka nol serangan ini hanya salah satu sisi dari koin. Laporan dari luar negeri, seperti The European Union Terrorism Situation and Trend Report (EU TE-SAT) 2024, memberikan perspektif global yang penting. Laporan itu mencatat, di Uni Eropa saja, pada tahun 2024, ada 120 serangan teroris. Serangan yang terjadi. Di sisi lain dunia, angka itu menunjukkan realitas yang berbeda dari apa yang kita alami di Indonesia dalam dua tahun terakhir.

Yang menarik dari laporan EU TE-SAT 2024 itu adalah penekanannya tidak hanya pada serangan yang berhasil, tapi juga pada insiden yang gagal atau digagalkan. Ini krusial. Mengapa? Karena insiden yang gagal atau digagalkan adalah indikator adanya niat, adanya rencana, adanya upaya. Jika banyak insiden gagal atau digagalkan, itu artinya kelompok teroris masih aktif merencanakan, masih berusaha bergerak. Angka nol serangan di Indonesia mungkin berarti bahwa semua upaya mereka selama dua tahun terakhir *berhasil digagalkan* atau *gagal dengan sendirinya* sebelum tereksekusi menjadi serangan nyata. Ini patut disyukuri, tapi ini juga bukti bahwa benih-benih ancaman itu masih ada di bawah permukaan.

Laporan yang sama juga menyebutkan bahwa serangan berbasis 'keagamaan' masih menjadi yang paling membahayakan. Ini relevan dengan konteks Indonesia, di mana afiliasi kelompok teroris seringkali menggunakan justifikasi agama, meskipun interpretasi mereka menyimpang jauh dari ajaran agama yang sesungguhnya. Jadi, tren global ini juga mengingatkan kita bahwa ideologi yang menyimpang ini masih menjadi motor penggerak di balik banyak ancaman.

Pandangan Pakar: Ancaman yang Bersembunyi dan Bermetamorfosis

Untuk memahami lebih dalam makna di balik angka nol ini dan mengapa kewaspadaan tetap krusial, kita dengarkan pandangan dari orang yang memang berkutat di bidang ini. Ada Prof. Mirra Noor Milla, seorang Guru Besar dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Beliau adalah pakar yang memahami seluk-beluk psikologi di balik fenomena terorisme, bagaimana mereka berpikir, bagaimana mereka bergerak, dan bagaimana ancaman ini bisa bertahan.

Prof. Mirra dengan tegas mengatakan, meskipun Indonesia sudah berhasil meredam aksi – perhatikan kata kuncinya: *aksi* – terorisme hingga mencatat nol serangan, itu tidak berarti ancamannya *hilang*. Kata beliau, ancaman itu *masih ada*. Ini seperti bara dalam sekam. Apalagi, menurut analisis Prof. Mirra, ancaman terorisme di masa depan akan semakin sulit dideteksi. Semakin tersembunyi. Mereka belajar. Mereka beradaptasi dengan upaya-upaya pencegahan yang dilakukan negara.

Bayangkan, dulu mungkin polanya lebih mudah ditebak, sasarannya lebih jelas. Sekarang? Mungkin mereka bergerak di ruang-ruang yang kurang terlihat, memanfaatkan teknologi baru, berinteraksi dalam komunitas yang lebih tertutup, atau bahkan mengubah cara rekrutmen dan perencanaan mereka. Inilah yang dimaksud dengan 'semakin tersembunyi'. Jika ancamannya semakin sulit dideteksi, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya adalah dengan *meningkatkan* kewaspadaan. Bukan mengurangi.

"Ancaman terorisme masih ada," kata Prof. Mirra, "dan kita perlu memperkuat sistem deteksi dini untuk memitigasi potensi serangan sebelum terjadi." Ini adalah poin kunci. Deteksi dini. Menemukan tanda-tanda, gejala-gejala, niat-niat buruk itu *sebelum* menjadi aksi nyata. Ini membutuhkan sistem yang canggih, sumber daya manusia yang terlatih, dan – ini yang terpenting – mata dan telinga yang waspada di seluruh lapisan masyarakat.

Mitigasi, kata beliau, adalah mencegah serangan itu terjadi sama sekali. Bukan hanya menindak setelah kejadian. Ini adalah permainan catur yang kompleks, di mana negara harus selalu beberapa langkah di depan kelompok teroris. Jika ancaman masa depan semakin tersembunyi, maka sistem deteksi dini kita harus semakin tajam, semakin mampu melihat hal-hal yang tidak terlihat di permukaan.

Realitas di Lapangan: Bukti Nyata Ancaman yang Masih Aktif

Mengapa Prof. Mirra begitu yakin ancaman itu masih ada, bahkan semakin sulit dideteksi? Karena ada bukti konkret di lapangan. Bukti bahwa meskipun tidak ada *serangan* yang berhasil, *aktivitas* terkait terorisme masih terjadi. Salah satu bukti yang disebutkan dalam konteks ini adalah penangkapan seorang terduga anggota terorisme berinisial MAS. Usianya masih sangat muda, 18 tahun.

MAS ditangkap oleh tim Densus 88 Anti Teror. Kita tahu Densus 88 adalah unit khusus yang memang didedikasikan untuk menanggulangi terorisme. Penangkapan ini terjadi pada 24 Mei 2025, di Gowa, Sulawesi Selatan. Lokasinya jelas, waktunya jelas. Penangkapan ini, meskipun hanya satu kasus, adalah bukti bahwa ada individu-individu yang masih terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia.

Apa yang membuat kasus MAS ini penting sebagai bukti ancaman yang masih ada? Karena dugaan keterlibatannya. MAS diduga menjadi anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). JAD ini, seperti kita tahu, adalah kelompok yang terafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS. ISIS adalah organisasi teroris internasional yang brutal, dan afiliasinya di berbagai negara, termasuk JAD di Indonesia, telah melakukan banyak kekejaman di masa lalu. Penangkapan MAS menunjukkan bahwa afiliasi ini masih aktif, masih berupaya merekrut, masih ada individunya.

Selain itu, MAS juga diduga terlibat sebagai penyebar propaganda ISIS. Propagandanya disebar di Purworejo beberapa waktu lalu. Menyebarkan propaganda adalah langkah awal yang krusial dalam aktivitas terorisme. Ini adalah upaya untuk meracuni pikiran orang, menyebarkan ideologi kebencian dan kekerasan, merekrut anggota baru, dan memotivasi orang untuk melakukan aksi. Aktivitas propaganda ini seringkali kurang terlihat dibandingkan aksi bom atau penembakan, tapi ini adalah fondasi dari ancaman terorisme. Keberadaan individu seperti MAS yang menyebarkan propaganda menunjukkan bahwa mesin ideologis terorisme masih beroperasi.

Kasus MAS di Gowa dan aktivitas propagandanya di Purworejo ini menjadi pengingat yang sangat kuat. Angka nol serangan dalam dua tahun itu adalah hasil yang fantastis, tapi di bawah permukaan, aktivitas seperti rekrutmen (seperti dugaan keanggotaan MAS di JAD) dan penyebaran ideologi (seperti dugaan penyebaran propaganda ISIS oleh MAS) masih terjadi. Ini persis seperti yang Prof. Mirra katakan: ancamannya belum hilang, hanya mungkin bergerak di area yang lebih tersembunyi.

Menyeimbangkan Optimisme dan Kewaspadaan: Strategi Adaptasi Kelompok Teroris

Jadi, bagaimana kita menyikapi situasi ini? Kita punya pencapaian gemilang berupa nol serangan dalam dua tahun. Ini patut dirayakan, patut menjadi sumber optimisme bahwa upaya kita selama ini membuahkan hasil. Tapi di sisi lain, kita punya pengingat keras seperti laporan global tentang banyaknya serangan di tempat lain, adanya insiden yang digagalkan/gagal, dan bukti nyata di lapangan seperti penangkapan MAS yang menunjukkan bahwa ancaman itu masih hidup dan bergerak di bawah permukaan.

Menurut Prof. Mirra, kuncinya adalah menyeimbangkan. Menyeimbangkan antara optimisme akan pencapaian zero terrorist attack dengan kewaspadaan terhadap potensi ancaman yang lebih sulit terlihat. Ini bukan soal memilih salah satu, tapi merangkul keduanya. Kita optimis karena telah berhasil, tapi kita tetap waspada karena ancaman itu licin dan cerdik.

Mengapa ancaman itu semakin sulit terlihat? Karena, kata Prof. Mirra, kelompok teroris itu mampu beradaptasi. Mereka bermetamorfosis. Ini adalah kata yang sangat penting: *bermetamorfosis*. Seperti ulat menjadi kupu-kupu, atau mungkin dalam konteks ini, seperti virus yang bermutasi. Mereka tidak statis. Ketika satu strategi mereka berhasil dipatahkan oleh aparat keamanan, mereka tidak menyerah. Mereka mencari cara baru. Mereka mengubah taktik. Mereka mengubah metode komunikasi. Mereka mengubah cara mereka merekrut dan mengorganisir diri.

Metamorfosis ini terjadi baik dalam strategi mereka di lapangan maupun di dalam struktur kelompok itu sendiri. Mungkin mereka mengubah cara berkomunikasi agar tidak terlacak. Mungkin mereka memanfaatkan platform online yang baru dan sulit dipantau. Mungkin mereka mengubah target atau metode serangan. Mungkin mereka mengubah struktur organisasi mereka menjadi lebih terfragmentasi, lebih kecil, dan lebih sulit ditembus.

Kemampuan beradaptasi inilah yang membuat ancaman terorisme menjadi tantangan jangka panjang. Ini bukan pertarungan yang bisa dimenangkan sekali pukul, lalu selesai. Ini adalah maraton yang membutuhkan kewaspadaan konstan, kemampuan untuk belajar dan beradaptasi balik.

Mengamati, Mengidentifikasi, dan Mengenali Potensi Risiko

Lalu, apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi ancaman yang bermetamorfosis dan semakin tersembunyi ini? Prof. Mirra memberikan resepnya, atau lebih tepatnya, pendekatannya. "Apa yang perlu kita lakukan adalah kita harus terus mengamati, terus mengobservasi, mengidentifikasi untuk mengenali potensi resiko itu," kata beliau.

Mengamati. Mengobservasi. Mengidentifikasi. Kata-kata ini terdengar sederhana, tapi pelaksanaannya kompleks. Ini bukan hanya tugas aparat keamanan. Ini tugas kita semua. Mengamati perubahan di lingkungan sekitar. Mengobservasi perilaku-perilaku mencurigakan, bahkan jika itu hanya berupa perubahan drastis pada seseorang yang kita kenal. Mengidentifikasi ideologi-ideologi menyimpang yang disebarkan, baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Mengenali potensi risiko. Ini membutuhkan pemahaman tentang apa saja yang bisa menjadi tanda peringatan. Apa saja yang bisa menjadi bibit radikalisme? Bagaimana proses seseorang bisa terpapar dan terjerumus ke dalam jaringan teroris? Ini bukan berarti kita harus mencurigai semua orang, tapi kita harus memiliki pemahaman dasar tentang modus operandi mereka dan apa saja faktor-faktor yang bisa membuat seseorang rentan.

Prof. Mirra juga menambahkan satu elemen penting dalam pengamatan ini: "termasuk environment yang mendukung terjadinya serangan terorisme." Lingkungan yang mendukung. Apa itu? Ini bisa bermakna luas. Apakah itu lingkungan fisik yang rentan menjadi sasaran? Apakah itu lingkungan sosial yang diwarnai ketidakadilan, ketidakpuasan, atau kebencian, yang bisa dieksploitasi oleh kelompok teroris untuk merekrut atau mendapatkan simpati? Apakah itu lingkungan online yang kurang terkontrol, di mana propaganda bisa menyebar bebas? Memahami dan memperbaiki lingkungan yang mendukung ini juga merupakan bagian dari upaya pencegahan yang komprehensif.

Jadi, tugasnya bukan hanya menunggu serangan terjadi lalu menindak. Tugasnya adalah terus-menerus aktif dalam mengamati gejala, mengidentifikasi individu atau kelompok yang berpotensi, dan mengenali faktor-faktor risiko di lingkungan kita. Ini adalah pendekatan proaktif, yang sejalan dengan upaya penguatan deteksi dini yang disebutkan sebelumnya.

Menerjemahkan Kewaspadaan Menjadi Aksi Nyata

Bagaimana kita, sebagai individu dan sebagai masyarakat, bisa menerjemahkan seruan untuk meningkatkan kewaspadaan ini menjadi aksi nyata? Pertama, ini dimulai dari diri sendiri. Membekali diri dengan pemahaman yang benar tentang ajaran agama (bagi yang beragama) agar tidak mudah terpapar tafsir yang menyimpang. Memiliki literasi digital yang baik agar kritis terhadap konten yang tersebar di internet, terutama yang bernada provokatif atau menyebar kebencian atas nama apapun.

Kedua, perhatikan lingkungan terdekat. Keluarga, teman, tetangga. Jika ada perubahan perilaku yang drastis, kecenderungan mengisolasi diri, atau paparan terhadap ideologi aneh, jangan ragu untuk mencari bantuan atau melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Ini bukan 'mengintervensi' urusan orang lain, tapi ini adalah bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial untuk mencegah sesuatu yang buruk terjadi.

Ketiga, jangan pernah meremehkan informasi sekecil apa pun yang tampak mencurigakan. Saluran pelaporan kepada aparat keamanan sudah ada. Mengaktifkan kembali peran siskamling di lingkungan RT/RW, meningkatkan komunikasi antarwarga, semua ini adalah bagian dari memperkuat 'environment' agar tidak mendukung aktivitas terorisme.

Keempat, dukung upaya pemerintah dalam menanggulangi terorisme. Ini bukan berarti kita harus setuju dengan setiap kebijakan, tapi pemahaman bahwa masalah ini nyata dan butuh penanganan serius adalah penting. Dukungan moril kepada aparat keamanan yang bekerja keras di garis depan juga diperlukan.

Terakhir, dan ini sangat penting, jangan biarkan pencapaian 'nol serangan' membuat kita lengah. Angka nol itu adalah hasil, bukan jaminan masa depan. Ini adalah bukti bahwa *saat ini* kita berhasil, tapi perjuangan belum usai. Kelompok teroris terus belajar, terus beradaptasi, terus mencari celah.

Penutup: Perjalanan Panjang Menjaga Indonesia

Jadi begitulah. Kita berdiri di titik yang menarik. Kita punya catatan impresif: nol serangan teroris dalam dua tahun. Ini adalah kabar baik yang datang dari Jakarta, mencerminkan situasi keamanan yang relatif stabil dari ancaman serangan nyata selama periode tersebut. Tapi kita juga punya pengingat keras dari para ahli seperti Prof. Mirra Noor Milla dari Universitas Indonesia, yang mengatakan bahwa ancaman itu tidak hilang, justru mungkin semakin tersembunyi.

Kita melihat contoh konkret di lapangan, seperti penangkapan MAS yang masih 18 tahun di Gowa, Sulawesi Selatan, pada 24 Mei 2025, yang diduga terkait JAD, ISIS, dan penyebaran propaganda di Purworejo. Kasus ini adalah bukti bahwa meskipun tidak ada serangan, bibit-bibit radikalisme dan jaringan teroris masih ada dan aktif bergerak di bawah radar. Laporan global seperti EU TE-SAT 2024 dengan 120 serangan di Uni Eropa pada 2024 juga mengingatkan kita bahwa terorisme adalah masalah global yang terus berdenyut.

Perjuangan melawan terorisme adalah perjalanan yang panjang. Ini bukan hanya tentang menindak pelaku setelah beraksi, tapi tentang mencegah, mendeteksi dini, memahami akar masalah, dan terus beradaptasi menghadapi strategi kelompok teroris yang juga terus bermetamorfosis. Ini membutuhkan kerja sama semua pihak: aparat keamanan, pemerintah, pakar, dan yang paling penting, masyarakat itu sendiri.

Optimisme dari pencapaian nol serangan harus kita jaga, tapi kewaspadaan harus terus ditingkatkan. Kita harus terus mengamati, mengobservasi, mengidentifikasi risiko, dan memahami lingkungan yang bisa mendukung ancaman ini. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa angka nol serangan ini bisa dipertahankan, bukan karena ancamannya hilang, tetapi karena kita, sebagai bangsa, selalu siap dan selangkah lebih maju dalam melawannya. Mari kita jaga Indonesia.

```

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Silfester Matutina Tuding Ada Bohir di Balik Desakan Pemakzulan Gibran

Berikut adalah artikel yang Anda minta, dalam gaya Anderson Cooper yang informal dan menarik, siap untuk dipublikasikan: Skandal Bohir Pemakzulan Gibran: Siapa Dalang di Balik Layar? Skandal Bohir Pemakzulan Gibran: Siapa Dalang di Balik Layar? Anda tahu, di dunia politik, seringkali ada drama yang tersaji di depan mata kita. Tapi, pernahkah Anda berpikir, apa yang sebenarnya terjadi di balik panggung? Siapa yang menarik tali, siapa yang memegang kendali? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan, mencuat dari sebuah pengakuan yang cukup mengejutkan. Ini bukan sekadar desas-desus, ini adalah tudingan serius yang dilemparkan langsung oleh salah satu tokoh di barisan pendukung capres-cawapres yang baru saja memenangkan kontestasi, Bapak Silfester Matutina. Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), baru-baru ini membuat pernyataan yang bisa dibilang mengguncang jagat politik...

KIKO Season 4 Episode THE CURATORS Bawa Petualangan Baru Kota Asri Masa Depan

JAKARTA - Menemani minggu pagi yang seru bersama keluarga, serial animasi KIKO Season Terbaru hadir di RCTI dengan membawa keseruan untuk dinikmati bersama di rumah. Hingga saat ini, KIKO telah meraih lima penghargaan bergengsi di tingkat nasional dan internasional dalam kategori anak-anak dan animasi. Serial ini juga telah didubbing ke dalam empat bahasa dan tayang di 64 negara melalui berbagai platform seperti Disney XD, Netflix, Vision+, RCTI+, ZooMoo Channel, dan Roku Channel. Musim terbaru ini menghadirkan kisah yang lebih segar dan inovatif, mempertegas komitmen MNC Animation dalam industri kreatif. Ibu Liliana Tanoesoedibjo menekankan bahwa selain menyajikan hiburan yang seru, KIKO juga mengandung nilai edukasi yang penting bagi anak-anak Indonesia. Berikut sinopsis episode terbaru KIKO minggu ini. Walikota menugaskan Kiko dkk untuk menyelidiki gedung bekas Galeri Seni karena diduga telah alih fungsi menjadi salah satu markas The Rebel. Kiko, Tingting, Poli, dan Pa...

Khotbah Jumat Pertama Dzulhijjah : Keutamaan 10 Hari Awal Bulan Haji

Khotbah Jumat kali ini mengangkat tema keutamaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Dan hari ini merupakan Jumat pertama di Bulan Haji tersebut bertepatan dengan tanggal 30 Mei 2025. Berikut materi Khotbah Jumat Dzulhijjah disampaikan KH Bukhori Sail Attahiry dilansir dari website resmi Masjid Istiqlal Jakarta. Khutbah ini bisa dijadikan materi dan referensi bagi khatib maupun Dai yang hendak menyampaikan khotbah Jumat. Allah subhanahu wata'ala memberikan keutamaan pada waktu-waktu agung. Di antara waktu agung yang diberikan keutamaan oleh Allah adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah . Keutamaan tersebut memberikan kesempatan kepada umat Islam agar memanfaatkannya untuk berlomba mendapatkan kebaikan, baik di dunia maupun di Akhirat. Hal ini dijelaskan melalui Hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berikut: Artinya: "Dari Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baiknya hari dunia adalah sepuluh...