Skandal Bohir Pemakzulan Gibran: Siapa Dalang di Balik Layar?
Anda tahu, di dunia politik, seringkali ada drama yang tersaji di depan mata kita. Tapi, pernahkah Anda berpikir, apa yang sebenarnya terjadi di balik panggung? Siapa yang menarik tali, siapa yang memegang kendali? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan, mencuat dari sebuah pengakuan yang cukup mengejutkan. Ini bukan sekadar desas-desus, ini adalah tudingan serius yang dilemparkan langsung oleh salah satu tokoh di barisan pendukung capres-cawapres yang baru saja memenangkan kontestasi, Bapak Silfester Matutina.
Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), baru-baru ini membuat pernyataan yang bisa dibilang mengguncang jagat politik kita. Ia tak sekadar menduga, ia menuding dengan gamblang bahwa desakan pemakzulan terhadap Wakil Presiden terpilih kita, Gibran Rakabuming Raka, bukanlah gerakan spontan dari akar rumput. Oh tidak, katanya. Ada sesuatu yang jauh lebih besar, lebih terencana, dan yang pasti, ada "bohir" atau penyokong dana raksasa yang berada di belakangnya. Bayangkan, sebuah tudingan yang sangat serius, dilontarkan dalam sebuah forum yang cukup luas, Podcast To the Point Aja di kanal YouTube SindoNews, pada Kamis (19/6/2025).
Silfester, pria kelahiran Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang genap berusia 54 tahun pada 19 Juni 2025 lalu, tidak main-main dengan ucapannya. Ia yakin seyakin-yakinnya. "Itu pasti ada bohirnya," katanya, seperti yang dikutip pada Minggu (22/6/2025). Kalimat pendek itu, yang mungkin terdengar biasa saja bagi sebagian orang, sebenarnya mengandung bobot yang luar biasa dalam kancah politik. Bohir, dalam konteks ini, merujuk pada kekuatan finansial besar, entitas misterius yang punya kepentingan tersembunyi, yang punya agenda yang tidak selalu tampak di permukaan. Ini seolah-olah membuka tirai tipis yang selama ini menutupi motif-motif politik tertentu.
Menguak Motif Tersembunyi: Mencegah Prabowo-Gibran Berkuasa Penuh
Lalu, apa sebenarnya motif dari para "bohir" ini, menurut Silfester? Jawabannya cukup blak-blakan. Silfester menuding bahwa para penyokong dana di balik upaya pemakzulan Gibran ini memiliki satu tujuan utama: mereka tidak ingin pasangan Prabowo-Gibran sukses hingga tahun 2029. Betapa mengerikannya itu, bukan? Sebuah kekuatan yang begitu besar, hingga mampu berupaya menggagalkan sebuah pemerintahan yang sah, yang baru saja mendapatkan mandat dari rakyat.
Ia bahkan melangkah lebih jauh. Tudingannya tidak hanya berhenti pada upaya menggagalkan, tetapi juga mengarah pada skenario yang lebih ekstrem. "Kalau bisa di tengah jalan dikudeta, dikudeta, atau ada revolusi, yang itu mereka sudah negomong lho di beberapa media, dari grup orang-orang ini sudah ngomong," ujarnya. Kata-kata "kudeta" dan "revolusi" itu tentu saja memicu alarm. Ini bukan sekadar permainan politik biasa. Ini adalah pertarungan yang sangat serius, yang mengindikasikan adanya upaya untuk mengganggu stabilitas negara demi kepentingan segelintir kelompok. Silfester mengklaim bahwa pembicaraan tentang skenario semacam ini bahkan sudah sempat beredar di beberapa media, menyiratkan adanya koordinasi dan perencanaan yang matang dari pihak-pihak yang dimaksud.
Ini memunculkan pertanyaan besar: Siapa sebenarnya kelompok yang dimaksud Silfester ini? Siapa yang berani-beraninya berbicara tentang kudeta atau revolusi di tengah hiruk-pikuk transisi kekuasaan yang seharusnya damai dan konstitusional? Tuduhan ini, jika benar, bukan hanya sekadar intrik politik biasa, tetapi bisa jadi sebuah ancaman serius terhadap demokrasi kita. Kita bicara tentang upaya memotong mandat rakyat di tengah jalan, sebuah tindakan yang bertentangan langsung dengan prinsip-prinsip demokrasi yang kita junjung tinggi.
Jejak Bohir: Aroma Kekalahan Pilpres dan Ambisi 2029
Pertanyaannya kemudian, siapa sih gerangan "bohir" yang dimaksud Silfester ini? Ia memberikan petunjuk yang cukup jelas. Menurutnya, para penyokong dana tersebut adalah mereka yang kalah dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) baru-baru ini. Ini adalah kelompok yang mungkin masih merasakan perihnya kekalahan, yang belum bisa menerima hasil dari pesta demokrasi lima tahunan. Apakah ini semacam upaya balas dendam politik, ataukah memang ada agenda yang lebih besar di baliknya?
Tidak hanya itu, Silfester juga menuding bahwa para bohir ini memiliki kepentingan jangka panjang, khususnya terkait pilpres mendatang, yakni tahun 2029. "Yang kedua, di belakangnya orang yang nanti ingin agar calonnya bisa anaknya juga atau mereka sendiri yang ingin bermain di 2029," ungkapnya. Nah, ini dia intinya. Ini bukan cuma soal kekalahan di masa lalu, tapi juga tentang ambisi untuk masa depan. Mereka tidak hanya melihat ke belakang, tetapi juga merancang strategi untuk kontestasi yang akan datang. Mereka mungkin melihat upaya pemakzulan Gibran ini sebagai bagian dari jalan untuk membuka peluang bagi calon mereka sendiri, atau bahkan bagi diri mereka sendiri, untuk berlaga di panggung politik nasional pada 2029.
Ini adalah manuver politik yang cerdik, jika benar adanya. Menjatuhkan lawan di tengah jalan untuk membuka karpet merah bagi diri sendiri atau "anak" mereka. Ini adalah politik yang tak mengenal jeda, tak mengenal kata istirahat, selalu memikirkan langkah selanjutnya, lima tahun ke depan, bahkan sepuluh tahun ke depan. Dan yang menarik, Silfester mengklaim bahwa mencari tahu siapa para bohir ini bukanlah hal yang sulit. Ia bahkan menyebutkan frasa "musuh dalam selimut." Sebuah ungkapan yang sangat menggambarkan intrik dan pengkhianatan yang mungkin terjadi di balik layar.
Musuh dalam Selimut dan Tebar Pesona Menuju 2029
"Ada juga musuh dalam selimut. Pokoknya yang sekarang lagi tebar pesona untuk bermain di 2029, intinya itu kok, gampang," jelas Silfester. Frasa "musuh dalam selimut" ini sangat kuat. Ini mengindikasikan bahwa potensi ancaman tidak hanya datang dari pihak yang jelas-jelas berseberangan, tetapi juga dari orang-orang yang mungkin selama ini berada di lingkaran yang sama, atau setidaknya tidak dianggap sebagai musuh. Mereka, dengan strategi "tebar pesona" mereka, sedang mempersiapkan diri, membangun citra, dan mencari celah untuk mendominasi kontestasi lima tahun mendatang. Ini adalah permainan panjang, sebuah maraton politik, di mana setiap langkah, setiap tuduhan, setiap desakan, bisa jadi merupakan bagian dari strategi besar untuk menguasai panggung kekuasaan.
Dari pernyataan Silfester ini, kita bisa melihat betapa kompleksnya dinamika politik kita. Tuduhan adanya bohir di balik desakan pemakzulan Gibran ini, jika terbukti, akan membuka mata kita pada lapisan-lapisan kekuasaan yang tidak terlihat, pada kekuatan-kekuatan yang bekerja dari balik layar. Ini bukan sekadar persaingan ideologi, tetapi persaingan kepentingan, persaingan ambisi, dan mungkin, persaingan untuk menguasai masa depan politik bangsa.
Kita semua tentu berharap, kebenaran dari tudingan ini bisa terungkap. Karena, jika memang ada kekuatan tersembunyi yang berupaya merongrong konstitusi dan mengganggu jalannya pemerintahan yang sah, maka ini adalah ancaman serius bagi demokrasi kita. Ini adalah kisah yang masih akan terus bergulir, sebuah drama politik yang menarik untuk disimak, dengan pertanyaan besar yang menggantung di udara: Siapa sebenarnya para bohir itu, dan sejauh mana kekuatan mereka dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini?
Komentar
Posting Komentar