Ternyata Beda Jauh! Membongkar Rahasia Perbedaan Tupai dan Bajing Menurut Ahli IPB University yang Bikin Geger
Selamat datang, para pembaca setia! Pernahkah Anda sedang santai, mungkin di taman atau bahkan hanya melihat gambar di media sosial, lalu mata Anda menangkap sosok mungil yang lincah bergerak di antara dahan-dahan pohon? Hewan itu ramping, ekornya panjang, dan gerakannya super cepat. Nah, pertanyaan klasik pun muncul di benak kita: "Ini tupai atau bajing, ya?" Jujur saja, sebagian besar dari kita pasti pernah bingung, bahkan mungkin keliru menyebutnya. Dan Anda tahu? Kebingungan ini ternyata sangat, sangat umum terjadi di tengah masyarakat kita. Wajar sih, dilihat sekilas, bentuk tubuh mereka memang punya banyak kemiripan. Sama-sama hidup di pepohonan, sama-sama gesit, seolah mereka ini 'kembar beda ibu' atau setidaknya 'sepupu dekat' dalam dunia satwa.
Tapi... tahan dulu! Ternyata oh ternyata, kemiripan fisik itu hanyalah penampakan luar. Ibarat kata, kulit luar bisa sama, tapi isinya... beda! Dan ini bukan sekadar beda nama panggilan di daerah yang berbeda. Ini adalah perbedaan mendasar secara biologis, perbedaan yang ternyata jauh lebih signifikan dari apa yang kita bayangkan. Dan siapa yang membongkar "rahasia" ini untuk kita? Beliau adalah sosok yang sangat kompeten di bidangnya, seorang peneliti dari institusi pendidikan ternama di negeri ini. Ya, kita beruntung punya Ibu Maryati Surya, Koordinator Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, sekaligus Peneliti di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB University. Beliau inilah yang dengan sabar dan rinci menjelaskan, mengapa dua hewan yang sekilas mirip ini, sejatinya punya perbedaan yang cukup... kontras!
Ibu Maryati, dengan keahliannya, membawa kita menelusuri dunia taksonomi, dunia klasifikasi makhluk hidup yang mungkin bagi sebagian orang terdengar rumit, tapi sebenarnya kunci untuk memahami hubungan antarspesies. Dan poin pertama yang beliau tekankan, yang langsung bikin kita sadar betapa dangkalnya pemahaman umum kita selama ini, adalah bahwa tupai dan bajing ternyata berasal dari ordo yang berbeda. Beda ordo, bayangkan! Ini bukan beda 'keluarga' kecil lagi, ini sudah beda 'bangsa' atau 'kelas' yang lebih tinggi dalam silsilah kehidupan. Perbedaan ordo ini, menurut Ibu Maryati, membawa konsekuensi logis pada perilaku dan karakteristik fisik mereka yang, meskipun sekilas mirip, sebenarnya sangat kontras jika kita tahu di mana mencarinya.
Menguak Tabir Taksonomi: Mengapa Mereka Tidak Sama Ordo?
Baik, mari kita selami lebih dalam apa maksud dari "beda ordo" ini, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Maryati Surya dari PSSP IPB University. Dalam dunia biologi, klasifikasi makhluk hidup itu punya tingkatan, seperti silsilah keluarga besar. Ada Kerajaan (Kingdom), Filum (Phylum), Kelas (Class), Ordo (Order), Famili (Family), Genus, dan Spesies. Ordo itu posisinya lumayan tinggi, di atas famili tapi di bawah kelas. Jadi, ketika dua hewan dibilang beda ordo, itu artinya mereka punya perbedaan fundamental yang terjadi jauh di masa lalu dalam evolusi mereka. Struktur tubuh dasar, pola makan, perilaku, bahkan cara mereka berinteraksi dengan lingkungan, semuanya bisa sangat berbeda karena perbedaan ordo ini.
Dalam kasus tupai dan bajing, Ibu Maryati secara eksplisit menyebutkan bahwa tupai (yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai treeshrew, nama ilmiahnya Tupaia) berasal dari ordo yang sama sekali berbeda dari bajing. Ordo tupai adalah Scandentia. Sementara bajing, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit ordonya di sini, implikasinya sangat jelas: bajing bukan bagian dari ordo Scandentia. Mungkin Anda berpikir, "Ah, beda ordo doang, kan bentuknya mirip?" Nah, di sinilah letak kesalahpahaman besarnya, dan Ibu Maryati mencoba meluruskannya. Perbedaan ordo ini bukan hanya formalitas di buku biologi. Perbedaan ini mencerminkan jutaan tahun sejarah evolusi yang berbeda, adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda, dan gaya hidup yang pada akhirnya membuat mereka punya "cetak biru" biologis yang tidak sama.
Ini seperti membandingkan kucing dengan anjing. Mereka sama-sama mamalia, sama-sama karnivora (kebanyakan), sama-sama punya empat kaki dan ekor. Tapi mereka beda famili (Felidae vs Canidae), yang merupakan turunan dari ordo yang sama (Carnivora). Tupai dan bajing ini perbedaannya bahkan lebih jauh lagi, sudah di tingkat ordo! Jadi, kemiripan bentuk tubuh itu bisa dibilang hanya konvergensi evolusi, di mana dua spesies yang berbeda jauh mengembangkan fitur serupa karena menghadapi tantangan lingkungan yang serupa (misalnya, hidup di pohon butuh kemampuan memanjat dan melompat). Tapi di balik kemiripan itu, ada perbedaan fundamental dalam sistem tubuh, metabolisme, reproduksi, dan cara mereka bertahan hidup yang ditentukan oleh ordo mereka yang berbeda.
Penjelasan Ibu Maryati dari IPB University ini benar-benar membuka mata. Kita tidak bisa lagi pukul rata hanya karena melihat mereka sama-sama loncat dari dahan ke dahan. Perbedaan ordo ini adalah fondasi yang menjelaskan segala perbedaan lain yang akan kita bahas. Fondasi yang kokoh, yang memisahkan jalur evolusi tupai dan bajing menjadi dua arah yang berbeda, meskipun penampakan akhirnya mungkin membingungkan kita yang awam.
Mengenal Lebih Dekat Tupai: Scandentia Sang Omnivora Menurut Peneliti PSSP IPB University
Oke, setelah memahami betapa pentingnya perbedaan ordo, mari kita fokus dulu pada salah satu dari dua pemain utama kita, si tupai. Ibu Maryati Surya, sang peneliti dari PSSP IPB University, menjelaskan bahwa tupai, atau nama ilmiahnya Tupaia, adalah mamalia kecil yang secara taksonomi dimasukkan ke dalam ordo Scandentia. Jadi, kalau ada yang tanya tupai itu apa, jawabannya adalah mamalia kecil dari ordo Scandentia. Ini identitas resminya, kartu namanya di dunia satwa.
Nah, apa yang menarik dari tupai menurut penjelasan Ibu Maryati? Selain ordonya yang khusus (Scandentia), ada satu poin penting lagi yang seringkali luput dari perhatian kita: pola makannya. Kebanyakan orang mungkin membayangkan tupai itu makannya sama seperti bajing, yaitu biji-bijian atau kacang-kacangan. Ya, memang mereka juga makan itu. Tapi, Ibu Maryati menegaskan bahwa tupai punya menu yang jauh lebih bervariasi. Mereka ini, kata beliau, *omnivora*. Ya, Anda tidak salah dengar. Omnivora. Ini berarti mereka makan segalanya, atau setidaknya banyak jenis makanan dari sumber yang berbeda, baik tumbuhan maupun hewan.
Mari kita rincikan menu tupai berdasarkan penjelasan Ibu Maryati. Tupai memangsa serangga. Bayangkan, hewan kecil yang lincah di pohon itu ternyata pemburu serangga! Serangga apa saja? Mungkin berbagai jenis serangga yang ada di pohon atau di tanah hutan tempat mereka tinggal. Lalu, mereka juga memangsa kutu. Ya, kutu! Hewan super kecil yang mungkin kita anggap remeh itu ternyata masuk dalam daftar makanan tupai. Tidak hanya itu, Ibu Maryati juga menyebutkan "hewan kecil lainnya". Ini bisa jadi apa saja? Mungkin cacing, siput kecil, atau bahkan vertebrata kecil lainnya yang bisa mereka tangkap. Kemampuan memangsa "hewan kecil lainnya" ini menunjukkan bahwa mereka punya naluri dan kemampuan berburu yang tidak bisa dianggap enteng. Mereka bukan sekadar pemakan pasif yang menunggu buah atau biji jatuh.
Selain menu hewani yang cukup mengejutkan itu, tupai juga melengkapi pola makannya dengan sumber nabati. Ibu Maryati menyebutkan bahwa mereka juga mengonsumsi buah dan biji-bijian. Ini mungkin bagian yang paling sesuai dengan persepsi umum kita tentang hewan arboreal (pemanjat pohon) seperti mereka. Buah-buahan hutan yang matang, biji-bijian dari berbagai jenis tumbuhan hutan, semua itu menjadi bagian penting dari diet mereka. Kombinasi menu hewani dan nabati inilah yang menjadikan tupai sebagai omnivora sejati.
Pola makan omnivora ini adalah perbedaan besar lainnya dengan bajing (yang secara umum lebih dikenal sebagai herbivora atau granivora, meskipun ada juga spesies bajing yang kadang makan serangga atau telur, tapi bukan sebagai pola makan utama seperti tupai). Cara tupai mencari makan, jenis gigi yang mereka miliki untuk memproses makanan, bahkan sistem pencernaan mereka, kemungkinan besar berbeda signifikan dengan bajing, semua karena perbedaan ordo dan pola makan fundamental ini.
Penjelasan Ibu Maryati dari PSSP IPB University ini memberikan gambaran yang lebih utuh tentang tupai. Mereka bukan sekadar "bajing kecil" atau "bajing beda nama". Mereka adalah mamalia kecil yang unik dengan ordo spesifik (Scandentia) dan pola makan omnivora yang aktif mencari berbagai sumber makanan, baik dari dunia serangga dan hewan kecil, maupun dari dunia tumbuhan dalam bentuk buah dan biji-bijian. Sungguh gaya hidup yang menarik dan kompleks, jauh dari sekadar pelompat pohon pemakan kacang!
Dua Wajah Scandentia: Tupai Siang dan Malam Menurut Peneliti IPB University
Masih bicara soal tupai, sang mamalia kecil dari ordo Scandentia yang dijelaskan oleh Ibu Maryati Surya dari IPB University. Ternyata, ordo Scandentia ini punya keragaman internal yang juga menarik untuk dibahas, sesuai dengan informasi yang diberikan oleh Ibu Maryati. Ordo Scandentia, menurut beliau, terdiri dari dua famili (tingkatan di bawah ordo). Kedua famili ini dibedakan berdasarkan waktu aktivitas mereka: ada yang aktif di siang hari dan ada yang aktif di malam hari.
Famili pertama adalah Tupaiidae. Nah, famili ini yang mungkin paling sering kita lihat atau dengar, karena anggotanya bersifat diurnal. Diurnal artinya aktif di siang hari. Tupai-tupai dari famili Tupaiidae inilah yang kemungkinan besar sering kita jumpai melompat-lompat di dahan pohon saat matahari bersinar. Mereka menggunakan cahaya siang hari untuk mencari makan, berinteraksi, dan menjalankan aktivitas kehidupannya. Hidup di siang hari punya tantangan tersendiri, misalnya harus waspada terhadap predator visual seperti burung pemangsa atau ular. Mereka butuh penglihatan yang baik untuk navigasi dan mendeteksi ancaman di lingkungan hutan yang terang.
Kemudian ada famili kedua dalam ordo Scandentia, yaitu Ptilocercidae. Anggota famili ini punya gaya hidup yang berbeda 180 derajat. Mereka bersifat nokturnal. Nokturnal artinya aktif di malam hari. Saat sebagian besar hewan di hutan beristirahat, tupai dari famili Ptilocercidae justru baru memulai aktivitasnya. Mereka keluar di kegelapan malam untuk mencari makan dan menjelajahi wilayah mereka. Gaya hidup nokturnal ini menuntut adaptasi fisik yang berbeda. Mungkin mereka punya mata yang lebih besar atau lebih sensitif terhadap cahaya minim, pendengaran yang lebih tajam, atau indra penciuman yang lebih berkembang untuk membantu navigasi dan mencari mangsa atau sumber makanan dalam gelap. Tantangan bagi hewan nokturnal berbeda; mereka harus menghindari predator malam dan menemukan sumber daya tanpa bantuan cahaya matahari.
Fakta bahwa ordo Scandentia terbagi menjadi tupai siang (diurnal) dan tupai malam (nokturnal) ini menunjukkan betapa spesifik dan beragamnya kelompok hewan ini, bahkan di dalam ordonya sendiri. Ini bukan hanya soal perbedaan jadwal harian, tapi juga adaptasi biologis dan perilaku yang mendalam untuk bisa bertahan hidup di waktu yang berbeda dalam sehari. Penjelasan rinci dari Ibu Maryati Surya, peneliti dari PSSP IPB University ini, lagi-lagi memperkaya pemahaman kita tentang tupai. Mereka bukan sekadar "tupai", tapi ada berbagai jenis tupai dengan gaya hidup yang sangat berbeda dalam hal waktu aktivitas, yang semuanya terkumpul dalam ordo Scandentia yang unik ini.
Ini semakin menegaskan bahwa tupai adalah kelompok hewan yang berbeda dan punya keunikan sendiri, tidak bisa begitu saja disamakan dengan bajing, yang mungkin (meskipun tidak disebutkan di teks asli ini) memiliki ordo yang sebagian besar anggotanya punya pola aktivitas yang berbeda, atau setidaknya tidak terbagi sejelas ini menjadi famili diurnal dan nokturnal di tingkat ordo yang sama.
Perilaku Tupai: Gaya Hidup yang Khas Menurut Peneliti PSSP IPB University
Nah, sekarang kita bicara soal perilaku, aspek yang sangat dipengaruhi oleh taksonomi dan pola makan, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Maryati Surya, Koordinator Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi sekaligus Peneliti PSSP IPB University. Beliau menyebutkan bahwa tupai dan bajing memiliki "perilaku serta karakteristik fisik yang cukup kontras". Kita sudah bahas karakteristik fisik (bentuk mirip tapi beda ordo) dan sedikit menyentuh pola makan (omnivora untuk tupai). Sekarang, mari kita coba bedah lebih lanjut apa makna dari "perilaku yang cukup kontras" ini, berdasarkan informasi yang ada.
Karena tupai adalah omnivora, perilaku mencari makannya pasti berbeda dengan hewan yang utamanya hanya makan tumbuhan atau biji-bijian. Bayangkan seekor tupai sedang berburu. Dia tidak hanya mencari buah matang di dahan atau biji yang jatuh di tanah. Dia juga aktif mencari serangga di balik kulit kayu, di celah-celah pohon, atau bahkan mungkin menggali-gali sedikit di permukaan tanah. Dia juga bisa jadi mengintai hewan kecil lainnya. Perilaku berburu ini membutuhkan strategi yang berbeda: mungkin gerakan yang lebih mengendap-endap saat mendekati mangsa, kemampuan mendeteksi gerakan kecil, atau menggunakan cakar dan gigi untuk menangkap dan memproses mangsa hewani.
Kontraskan ini dengan perilaku mencari makan bajing (berdasarkan pengetahuan umum yang dikontraskan oleh Ibu Maryati). Bajing lebih sering terlihat mengumpulkan biji-bijian, kacang-kacangan, atau buah. Perilaku khasnya adalah menyimpan makanan (menimbun atau mengubur) untuk persediaan di masa paceklik. Perilaku menyimpan makanan seperti ini mungkin tidak dominan atau bahkan tidak ada pada tupai, terutama tupai omnivora yang bisa beralih ke sumber makanan hewani jika sumber nabati langka.
Selain cara mencari makan, perbedaan ordo dan famili (diurnal vs. nokturnal dalam Scandentia) juga pasti memengaruhi perilaku sosial dan interaksi dengan lingkungan. Tupai diurnal mungkin lebih sering terlihat berinteraksi dengan sesamanya atau dengan hewan lain di siang hari. Pola komunikasi mereka (suara, gerakan tubuh) mungkin berbeda dengan tupai nokturnal yang harus berkomunikasi dan berinteraksi di kegelapan, mungkin lebih mengandalkan suara atau aroma. Dan bandingkan lagi dengan bajing; pola sosial bajing (soliter atau hidup berkelompok) serta cara mereka mempertahankan wilayah bisa jadi berbeda lagi, ditentukan oleh ordo Rodentia yang berbeda itu.
Perilaku melompat dan memanjat pohon mungkin terlihat sama, tapi detailnya bisa berbeda. Mungkin cara tupai mencengkeram dahan, keseimbangan ekornya saat melompat, atau kecepatan gerakannya disesuaikan dengan kebutuhan mencari makan omnivora di lingkungan arboreal. Gigi taring atau gigi seri yang berbeda (karena beda ordo dan diet) juga memengaruhi cara mereka mengonsumsi makanan dan bahkan mungkin cara mereka mempertahankan diri atau berinteraksi dengan lingkungan fisik (misalnya, cara menggigit atau mengupas sesuatu).
Ibu Maryati Surya dari IPB University, dengan menyebutkan adanya "perilaku serta karakteristik fisik yang cukup kontras", menggarisbawahi bahwa kemiripan bentuk tubuh hanyalah satu kepingan kecil dari teka-teki. Perilaku tupai, yang dipengaruhi oleh status taksonomi (ordo Scandentia, famili Tupaiidae/Ptilocercidae) dan pola makan (omnivora), membentuk gaya hidup yang unik dan berbeda dari bajing. Jadi, ketika Anda melihat seekor tupai beraksi, Anda sedang menyaksikan manifestasi dari sejarah evolusi dan adaptasi yang spesifik, yang berbeda dari apa yang Anda lihat ketika menyaksikan seekor bajing.
Detail-detail inilah, meskipun tidak semua dirinci secara eksplisit di teks singkat, yang terkandung dalam pernyataan Ibu Maryati. Perbedaan ordo bukan hanya soal nama, tapi soal cara fundamental bagaimana hewan itu hidup dan berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.
Bajing dalam Bayangan: Kontras Karakteristik Fisik dan Perilaku Dibandingkan Tupai
Sekarang mari kita alihkan perhatian sejenak ke bajing. Dalam konteks penjelasan Ibu Maryati Surya dari IPB University, bajing ini muncul sebagai pembanding utama untuk menyoroti keunikan tupai. Meskipun teks asli tidak memberikan detail sebanyak tentang bajing seperti halnya tentang tupai, pernyataan bahwa mereka punya "perilaku serta karakteristik fisik yang cukup kontras" meskipun bentuk tubuh serupa, memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan logis berdasarkan perbandingan dengan tupai.
Pertama, soal karakteristik fisik. Ya, bentuk tubuh tupai dan bajing memang "serupa", ramping, berekor panjang, cocok untuk hidup di pepohonan. Tapi, sebagaimana ditegaskan Ibu Maryati, mereka beda ordo. Ini berarti, di balik kemiripan superficial itu, ada perbedaan mendasar pada struktur tulang (terutama tengkorak dan gigi), sistem otot, organ internal, bahkan mungkin struktur sensorik. Perbedaan pada gigi, misalnya, pasti signifikan. Tupai, sebagai omnivora yang makan serangga dan hewan kecil, mungkin punya jenis gigi yang berbeda untuk menangkap dan mengunyah mangsa hewani, selain gigi untuk memproses buah dan biji. Bajing, yang umumnya dikenal sebagai pemakan biji-bijian, pasti punya gigi seri (gigi depan) yang sangat kuat dan terus tumbuh, khas hewan pengerat (Rodentia, ordo bajing, meskipun tidak disebutkan di teks ini, adalah ordo hewan pengerat yang terkenal). Perbedaan struktur gigi ini saja sudah merupakan "karakteristik fisik yang cukup kontras" meskipun bentuk tubuh secara umum terlihat mirip.
Selain gigi, perbedaan ordo bisa berarti perbedaan dalam struktur tangan dan kaki, meskipun keduanya digunakan untuk memanjat. Mungkin cengkeraman, panjang jari, atau adanya bantalan khusus berbeda, disesuaikan dengan cara mereka bergerak atau mencari makan di pohon. Perbedaan internal, seperti sistem pencernaan, juga pasti ada. Sistem pencernaan omnivora yang bisa mencerna protein hewani dan serat tumbuhan tentu berbeda dengan sistem pencernaan yang utamanya dirancang untuk memproses karbohidrat dari biji-bijian.
Kemudian, soal perilaku. Perilaku bajing, yang dikontraskan dengan tupai oleh Ibu Maryati, pasti mencerminkan gaya hidup mereka sebagai hewan yang berbeda ordo dan punya pola makan yang berbeda (atau setidaknya dominasi jenis makanan yang berbeda). Jika tupai aktif berburu serangga dan hewan kecil, perilaku mencari makan bajing mungkin lebih fokus pada mencari dan mengumpulkan biji-bijian dan kacang-kacangan. Perilaku menyimpan makanan, seperti yang disebutkan sebelumnya, adalah perilaku khas bajing yang jarang ditemukan pada tupai. Ini adalah adaptasi perilaku terhadap ketersediaan makanan yang musiman atau tidak pasti, di mana mereka perlu membuat cadangan.
Pola aktivitas juga bisa berbeda. Meskipun ada tupai diurnal dan nokturnal, bajing umumnya lebih dikenal aktif di siang hari (diurnal). Namun, detail tentang pola aktivitas dan interaksi sosial bajing, seperti bagaimana mereka berkomunikasi satu sama lain, bagaimana mereka mempertahankan wilayah dari bajing lain atau hewan lain, cara mereka bereproduksi dan membesarkan anak, semua ini bisa jadi "cukup kontras" jika dibandingkan dengan tupai, karena mereka berasal dari garis keturunan evolusi yang berbeda.
Singkatnya, meskipun teks asli dari Ibu Maryati Surya dari PSSP IPB University tidak memberikan "daftar ciri-ciri bajing", dengan membandingkannya secara kontras dengan tupai yang detailnya diberikan (ordo Scandentia, omnivora, diurnal/nokturnal), kita bisa memahami bahwa bajing memiliki serangkaian karakteristik fisik internal dan perilaku yang berbeda secara fundamental, yang merupakan konsekuensi dari status mereka yang berada di ordo yang berbeda dari tupai. Jadi, di balik kemiripan bentuk, bajing adalah hewan yang menjalankan "program biologis" yang berbeda, dengan gaya hidup yang spesifik, yang membedakannya secara signifikan dari tupai.
Ini adalah inti dari pesan Ibu Maryati: jangan tertipu penampilan luar. Selidiki lebih dalam, dan Anda akan menemukan dunia perbedaan yang menarik di antara kedua hewan ini.
Maryati Surya dari IPB University: Sang Ahli yang Meluruskan Kebingungan
Semua penjelasan mendalam dan pencerahan tentang perbedaan fundamental antara tupai dan bajing ini berasal dari satu sumber yang kredibel, yaitu Ibu Maryati Surya. Beliau bukan sembarang orang. Jabatan beliau adalah Koordinator Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi. Posisi ini menunjukkan keahlian beliau dalam aspek biologis yang sangat mendasar, yaitu mikroorganisme dan sistem kekebalan, yang tentu saja beririsan dengan kesehatan dan biologi satwa secara umum. Selain itu, beliau juga adalah seorang Peneliti di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB University.
PSSP IPB University sendiri adalah lembaga penelitian yang fokus pada primata. Meskipun tupai (Scandentia) secara taksonomi sangat dekat dengan primata (Ordo Primates), bahkan dulunya sempat diklasifikasikan dekat atau bahkan dianggap sebagai primata primitif, fakta bahwa Ibu Maryati adalah peneliti di PSSP memberikan konteks yang menarik. Beliau pasti punya pemahaman mendalam tentang kelompok hewan yang berkerabat dekat dengan tupai ini. Keahlian beliau dalam mikrobiologi dan imunologi, digabung dengan penelitian di PSSP, memberikan perspektif yang sangat kuat dalam memahami biologi satwa kecil seperti tupai.
Penelitian satwa, apalagi yang terkait dengan taksonomi, perilaku, dan biologi mendasar seperti pola makan, membutuhkan observasi yang cermat, analisis data yang teliti, dan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip evolusi dan ekologi. Ibu Maryati, dengan latar belakang dan posisinya di IPB University, sebuah institusi pendidikan dan penelitian yang diakui, jelas memiliki kualifikasi untuk memberikan penjelasan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai perbedaan tupai dan bajing ini. Beliau berbicara dari posisi seorang ahli yang telah mendedikasikan waktunya untuk mempelajari satwa, memahami seluk-beluk biologi mereka, dan mengamati perilaku mereka di lingkungan alam atau laboratorium.
Pernyataan beliau, yang disampaikan melalui siaran pers pada Jumat (13/6/2025) – perhatikan detail tanggal ini, ini menunjukkan bahwa informasi ini adalah temuan atau penjelasan terbaru dari beliau – bukan sekadar opini pribadi. Ini adalah kesimpulan berdasarkan pengetahuan ilmiah dan mungkin data penelitian yang beliau miliki atau akses. Beliau secara rinci mengungkap perbedaan-perbedaan tersebut, mulai dari status taksonomi yang beda ordo, pola makan tupai yang omnivora (termasuk memangsa serangga, kutu, hewan kecil lainnya, serta buah dan biji-bijian), hingga klasifikasi tupai dalam ordo Scandentia yang terdiri dari dua famili (Tupaiidae diurnal dan Ptilocercidae nokturnal). Detail-detail ini berasal langsung dari beliau.
Kehadiran ahli seperti Ibu Maryati Surya dari PSSP IPB University ini sangat penting dalam meluruskan kebingungan yang sudah begitu lama beredar di masyarakat. Di era banjir informasi, seringkali sulit membedakan mana informasi yang akurat dan mana yang sekadar mitos atau kesalahpahaman turun-temurun. Ketika seorang peneliti dengan kredibilitas tinggi seperti beliau angkat bicara dan membeberkan fakta berdasarkan ilmu pengetahuan, masyarakat mendapatkan pencerahan yang sangat berharga. Beliau tidak hanya sekadar memberi tahu "mereka beda", tapi menjelaskan *mengapa* mereka beda, hingga ke tingkat ordo dan pola makan yang spesifik. Ini adalah cara yang benar untuk mengedukasi publik tentang keanekaragaman hayati di sekitar kita.
Jadi, setiap kali kita mendengar atau membaca tentang perbedaan tupai dan bajing, kita patut berterima kasih pada para peneliti seperti Ibu Maryati Surya dari IPB University yang telah bersusah payah mengumpulkan data dan membagikan pengetahuannya demi meluruskan kesalahpahaman dan meningkatkan pemahaman kita tentang dunia satwa yang menakjubkan ini. Beliaulah sumber terpercaya dalam kasus spesifik perbedaan dua hewan yang sekilas mirip ini, setidaknya berdasarkan informasi yang kita miliki dari siaran pers tersebut.
Mengapa Penting Memahami Perbedaan Ini?
Mungkin ada yang bertanya, "Oke, mereka beda ordo, beda pola makan, beda famili diurnal/nokturnal. Tapi kenapa ini penting bagi kita, orang awam?" Pertanyaan bagus. Memahami perbedaan fundamental antara tupai dan bajing, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Maryati Surya dari PSSP IPB University, lebih dari sekadar menambah pengetahuan umum untuk kuis. Ini punya beberapa implikasi penting, bahkan dalam kehidupan sehari-hari atau dalam skala yang lebih besar terkait konservasi.
Pertama, ini tentang akurasi dan apresiasi terhadap keanekaragaman hayati. Dunia ini penuh dengan berbagai jenis makhluk hidup yang unik. Setiap spesies, setiap ordo, punya perannya masing-masing dalam ekosistem. Mengetahui bahwa tupai dan bajing itu berbeda secara fundamental membantu kita menghargai keunikan masing-masing. Tupai dengan gaya hidup omnivoranya, perannya sebagai pemangsa serangga atau penyebar biji, mungkin punya fungsi ekologis yang berbeda dengan bajing yang lebih fokus pada penyimpanan biji. Memahami perbedaan ini membantu kita melihat hutan atau lingkungan alam bukan sebagai "tempat tinggal hewan-hewan mirip", tapi sebagai sistem kompleks di mana setiap komponen punya identitas dan peran spesifik.
Kedua, ini penting untuk upaya konservasi. Strategi konservasi untuk tupai dan bajing bisa jadi sangat berbeda karena kebutuhan hidup mereka berbeda. Tupai omnivora yang berburu serangga mungkin lebih rentan terhadap penggunaan pestisida yang membunuh sumber makanannya. Tupai nokturnal dari famili Ptilocercidae punya habitat dan tantangan yang berbeda dengan tupai diurnal dari famili Tupaiidae. Bajing dengan perilaku penyimpanan bijinya mungkin punya peran penting dalam regenerasi hutan dengan "lupa" di mana mereka menyimpan sebagian biji. Jika kita keliru mengenali dan menganggap mereka sama, kita bisa menerapkan strategi konservasi yang salah, yang tidak efektif untuk melindungi salah satu atau bahkan kedua spesies tersebut. Pengetahuan taksonomi dan ekologi dasar, seperti yang diberikan oleh Ibu Maryati, adalah fondasi untuk konservasi yang tepat sasaran.
Ketiga, bagi para peneliti atau mahasiswa yang ingin mempelajari salah satu dari hewan ini, mengetahui perbedaan ordo adalah titik awal yang krusial. Metode penelitian, jenis makanan yang harus disediakan di penangkaran, cara mendekati mereka di alam liar, bahkan studi genetik, semuanya akan berbeda tergantung apakah Anda meneliti tupai atau bajing. Penjelasan Ibu Maryati Surya dari IPB University adalah panduan awal yang sangat jelas bagi siapa saja yang tertarik mendalami biologi kedua hewan ini.
Terakhir, ini juga mengajarkan kita untuk tidak mudah menghakimi atau mengklasifikasikan sesuatu hanya dari penampilan luarnya. Tupai dan bajing adalah contoh sempurna bagaimana kemiripan bentuk tubuh bisa menyembunyikan perbedaan biologis yang sangat dalam. Ini adalah pelajaran berharga yang bisa diterapkan di banyak aspek kehidupan, mengajarkan kita untuk selalu melihat lebih dari sekadar permukaan dan mencari pemahaman yang lebih mendalam dan akurat.
Jadi, ya, memahami perbedaan antara tupai dan bajing, sebagaimana dijelaskan oleh ahli seperti Ibu Maryati Surya dari PSSP IPB University, itu penting. Ini meningkatkan apresiasi kita terhadap alam, membantu upaya konservasi, membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut, dan mengajarkan kita untuk melihat dunia dengan lebih kritis dan mendalam.
Penutup: Mengakhiri Kebingungan Berkat Penjelasan Ahli dari IPB University
Jadi, begitulah. Misteri yang selama ini menyelimuti perbedaan antara tupai dan bajing, setidaknya bagi banyak dari kita, kini sedikit demi sedikit tersingkap. Terima kasih banyak kepada Ibu Maryati Surya, Koordinator Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi sekaligus Peneliti di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB University, yang telah meluangkan waktu dan membagikan pengetahuannya yang sangat berharga ini.
Kita kini tahu, berkat penjelasan beliau, bahwa kemiripan bentuk tubuh hanyalah kamuflase visual. Di balik tubuh ramping dan ekor panjang yang lincah di pepohonan, tupai dan bajing adalah dua entitas biologis yang berbeda secara mendasar. Perbedaan mereka terletak pada tingkatan taksonomi yang tinggi, yaitu ordo. Tupai termasuk dalam ordo Scandentia, sementara bajing (implikasinya) bukan.
Perbedaan ordo ini bukanlah sekadar nama di buku. Ini membawa konsekuensi besar pada gaya hidup mereka. Tupai, dengan ordo Scandentia-nya, memiliki pola makan yang omnivora, aktif berburu serangga, kutu, dan hewan kecil lainnya, di samping mengonsumsi buah dan biji-bijian. Sementara bajing, berdasarkan kontras yang dijelaskan, punya pola makan yang mungkin lebih fokus pada sumber nabati seperti biji-bijian, dengan perilaku khas seperti menyimpan makanan.
Lebih jauh lagi, ordo Scandentia tempat tupai bernaung ternyata punya keragaman internal, membagi tupai menjadi famili yang aktif di siang hari (diurnal, Tupaiidae) dan famili yang aktif di malam hari (nokturnal, Ptilocercidae). Ini menunjukkan betapa spesifiknya adaptasi tupai terhadap ceruk ekologi mereka, sesuatu yang mungkin tidak terjadi dalam ordo bajing dengan cara yang sama.
Pada akhirnya, semua perbedaan mendasar ini, baik dari sisi taksonomi, pola makan, maupun pola aktivitas, menghasilkan "perilaku serta karakteristik fisik yang cukup kontras" antara tupai dan bajing, meskipun dari luar mereka tampak mirip. Ibu Maryati Surya dari IPB University telah dengan jelas memaparkan fondasi biologis di balik perbedaan tersebut.
Jadi, lain kali Anda melihat hewan kecil yang lincah di pohon di sekitar Jakarta atau di mana pun Anda berada, cobalah amati lebih detail (jika memungkinkan, tentu saja dari jauh tanpa mengganggu!). Ingatlah penjelasan Ibu Maryati. Mungkin Anda bisa melihat sekilas perbedaan perilaku mereka, cara mereka mencari makan, atau bahkan detail fisik yang membedakan mereka jika Anda tahu apa yang harus dicari. Dan yang terpenting, sebutlah mereka dengan benar. Hargai keunikan masing-masing spesies.
Penjelasan dari ahli seperti Ibu Maryati Surya dari PSSP IPB University ini adalah pengingat berharga bahwa dunia alam selalu punya kejutan dan detail menarik yang menunggu untuk diungkap. Jangan pernah berhenti belajar dan bertanya, terutama jika itu datang dari sumber yang sangat terpercaya seperti beliau. Semoga kebingungan kita selama ini tentang tupai dan bajing kini sudah berakhir, berganti dengan apresiasi yang lebih dalam terhadap keanekaragaman satwa di sekitar kita!
Terima kasih sudah membaca. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan Anda tentang dua hewan kecil yang luar biasa ini.
Komentar
Posting Komentar