Kurban Iduladha: Bukan Sekadar Menyembelih Hewan, Tapi Mengasah Hati Menuju Ridha Ilahi
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh! Atau, hei, apa kabar Anda semua yang sedang membaca ini? Selamat menyambut Hari Raya Iduladha, momen yang selalu sarat makna, penuh haru, dan tentu saja, penuh berkah. Saat kita berbicara Iduladha, ada satu ibadah yang langsung terlintas, yang menjadi inti dari perayaan ini. Ya, Anda tahu persis apa yang saya maksud: ibadah kurban. Ini bukan sekadar tradisi tahunan, bukan sekadar membagikan daging, jauh melampaui itu. Ini adalah ibadah yang paling utama, paling istimewa, dan paling dicintai pada hari agung ini.
Bayangkan ini: pada Hari Kiamat nanti, hari perhitungan yang mahadahsyat, hari ketika setiap amal perbuatan kita ditimbang, tiba-tiba, ada sesuatu yang datang menghampiri Anda. Sesuatu yang sangat familiar, sesuatu yang Anda kenal betul. Itu adalah hewan yang dulu Anda kurbankan. Ya, persis seperti saat di dunia. Utuh. Tidak ada satu pun anggotanya yang kurang. Tanduknya ada, bulunya lebat, kukunya kokoh. Mereka datang, seolah menjadi saksi bisu, bukti nyata dari pengorbanan tulus yang pernah Anda lakukan di dunia fana ini. Dan setiap helai bulu, setiap tetes darah, setiap bagian dari hewan kurban itu akan menjelma menjadi nilai pahala yang berlimpah, yang akan memberatkan timbangan kebaikan Anda di hadapan Sang Pencipta.
Mengapa ibadah kurban ini begitu istimewa? Mengapa Allah memberikan ganjaran yang sedemikian rupa, bahkan menghadirkan kembali hewan yang telah disembelih? Ini bukan tentang hewan itu sendiri. Ini tentang makna di balik tindakan tersebut. Ibadah kurban yang kita laksanakan, dimulai sejak Hari Raya Iduladha itu sendiri hingga hari-hari Tasyrik yang mulia, memiliki satu tujuan fundamental, satu niat yang paling dalam: mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini adalah upaya kita untuk meraih kedekatan, untuk menunjukkan kepatuhan dan kecintaan kita kepada-Nya. Seperti seseorang yang ingin akrab dengan yang dicintainya, kita persembahkan sesuatu yang berharga, sesuatu yang menguji kesediaan kita.
Namun, makna kurban tidak berhenti hanya pada dimensi vertikal, hubungan kita dengan Allah. Ia juga memiliki dimensi horizontal yang sangat kuat, sesuatu yang sangat relevan dengan kondisi batin kita sebagai manusia modern yang sering terjebak dalam pusaran diri sendiri. Kurban itu, saudara-saudari sekalian, adalah alat ampuh untuk mengikis, bahkan menghancurkan, benteng-benteng egoisme yang seringkali begitu kokoh berdiri di dalam diri kita. Ia adalah penawar bagi racun nafsu serakah yang tak pernah puas, yang selalu ingin memiliki lebih banyak, menimbun lebih banyak. Dan ia adalah pukulan telak terhadap sifat individualistik, sifat "aku, aku, dan aku" yang membuat kita lupa bahwa kita hidup dalam sebuah komunitas, dalam sebuah ikatan persaudaraan.
Dengan berkurban, kita dilatih untuk melepaskan kepemilikan, untuk berbagi, untuk merasakan bahwa segala sesuatu yang kita miliki hanyalah titipan. Hewan yang kita kurbankan adalah harta kita, hasil jerih payah kita, atau setidaknya, sesuatu yang memiliki nilai di mata kita. Melepaskannya demi perintah Allah adalah latihan paling efektif untuk melawan cengkeraman harta benda duniawi. Kita diajak untuk melihat melampaui diri sendiri, melampaui keinginan dan kenyamanan pribadi. Kita diharapkan, bahkan diwajibkan secara spiritual, untuk memaknai setiap tarikan napas, setiap langkah hidup kita, semata-mata demi meraih ridha Allah. Kurban menjadi semacam pengingat tahunan yang keras, bahwa tujuan hidup kita bukan akumulasi kekayaan atau pencapaian pribadi semata, tetapi adalah penyerahan diri total kepada kehendak Ilahi.
Makna Spiritual dan Pembersihan Diri Lewat Kurban
Mari kita bedah lebih dalam makna spiritual dari tindakan menyembelih hewan ini. Mengapa Allah memilih bentuk ibadah ini? Di era modern yang serba praktis ini, mungkin ada yang bertanya, mengapa harus hewan? Mengapa tidak sedekah uang saja yang nilainya sama? Hadis Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam memberikan penjelasan yang sangat gamblang, sangat menyentuh, dan menggarisbawahi keistimewaan kurban ini. Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Sayyidah Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
Artinya: “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada Hari Raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadis hasan, riwayat al-Tirmidzi dan Ibn Majah)
Perhatikan kalimat pertamanya: "Tidak ada suatu amalan... yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan." Ini pernyataan yang sangat kuat. Pada hari yang penuh dengan berbagai bentuk ibadah – shalat Id, takbir, sedekah, silaturahim – menyembelih hewan kurban menduduki posisi teratas dalam kecintaan Allah. Mengapa? Karena ia adalah perwujudan nyata dari pengorbanan, penyerahan, dan ketaatan yang mendalam. Ia adalah simbol dari kesediaan untuk memberikan sesuatu yang berharga demi perintah-Nya.
Lalu Hadis ini melukiskan kembali pemandangan Hari Kiamat yang sudah kita singgung di awal. Hewan itu datang dengan segala atributnya: tanduk, bulu, kuku. Mengapa detail ini penting? Ini menunjukkan keutuhan pahala, kesaksian yang sempurna. Tidak ada yang hilang dari pengorbanan Anda. Setiap bagian dari hewan itu, sekecil apa pun, tercatat dan akan menjadi bukti kebaikan Anda kelak.
Bagian yang paling mencengangkan, yang menunjukkan betapa istimewanya ibadah ini di mata Allah, adalah frasa: "Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah." Coba renungkan ini. Darah, simbol kehidupan yang dilepaskan dalam ketaatan, diterima langsung oleh Allah seketika, bahkan sebelum gravitasi sempat menariknya jatuh ke bumi. Ini menunjukkan kecepatan penerimaan, keutamaan yang luar biasa, dan perhatian Allah terhadap niat tulus di balik tindakan tersebut. Ia adalah isyarat bahwa kurban ini bukan sekadar ritual fisik, tetapi sebuah interaksi spiritual yang langsung terhubung dengan Arasy-Nya.
Maka, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menutup Hadis ini dengan perintah yang sangat personal: "Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya." Lapangkan jiwa. Apa artinya ini? Artinya, lakukan ibadah kurban ini dengan penuh kerelaan, dengan hati yang ikhlas, tanpa paksaan, tanpa keraguan, tanpa perhitungan untung rugi duniawi. Lakukan dengan sukacita, karena Anda tahu betapa besar nilai ibadah ini di sisi Allah. Lapangkan jiwa untuk berpisah dengan harta yang Anda sayangi demi sesuatu yang jauh lebih besar, demi meraih ridha Allah.
Ini adalah esensi dari pengorbanan. Seorang hamba yang berkurban dengan hewan ternak, pada hakikatnya, sedang melakukan simulasi, sedang mempraktikkan penyerahan yang lebih besar. Ia sedang "mengorbankan" bukan hanya hewan itu, tetapi ia sedang melatih dirinya untuk siap "mengorbankan" segalanya – jiwa, harta, dan bahkan keluarga – hanya untuk-Nya. Ini bukan berarti kita harus benar-benar menyerahkan jiwa atau keluarga secara harfiah seperti kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam dan putranya Nabi Ismail Alaihissalam, tetapi ini adalah tentang kesiapan batin. Kesiapan untuk meletakkan cinta kepada Allah di atas segalanya, bahkan di atas cinta kepada diri sendiri, harta, dan orang-orang terkasih.
Bukan Daging atau Darah, Tapi Ketakwaan dan Ketulusan yang Sampai Kepada-Nya
Poin ini sangat krusial, dan Al-Quran sendiri yang menegaskannya dengan sangat gamblang. Seringkali, kita mungkin hanya melihat kurban dari sisi fisik: menyembelih, mengolah daging, membagikan. Tapi Allah dengan tegas mengingatkan kita bahwa fokus-Nya bukanlah pada aspek materi itu. Dalam Surah Al-Hajj ayat 37, Allah Ta'ala berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: "Daging dan darah binatang korban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepadaNya ialah amal yang ikhlas yang berdasarkan taqwa dari kamu. Demikianlah Ia memudahkan binatang-binatang itu bagi kamu supaya kamu membesarkan Allah kerana mendapat nikmat petunjukNya. Dan sampaikanlah berita gembira (dengan balasan yang sebaik-baiknya) kepada orang-orang yang berusaha supaya baik amalnya." (QS Al-Hajj : 37)
Ayat ini laksana mercusuar yang menerangi hakikat ibadah kurban. "Daging dan darah... tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah." Ini adalah penegasan mutlak. Allah, Yang Maha Kaya, tidak membutuhkan daging atau darah hewan kita. Kekuasaan-Nya tidak bertambah dengan kurban kita, dan kemuliaan-Nya tidak berkurang jika kita tidak berkurban. Ritual fisik itu hanyalah sarana, perantara.
Jadi, apa yang sampai kepada Allah? "Tetapi yang sampai kepadaNya ialah amal yang ikhlas yang berdasarkan taqwa dari kamu." Inilah intinya! Dua kata kunci: Ikhlas dan Taqwa. Ikhlas adalah melakukan sesuatu semata-mata karena Allah, tanpa mengharapkan pujian manusia, tanpa motif duniawi, hanya mencari wajah-Nya. Taqwa adalah kesadaran diri yang mendalam akan kehadiran Allah, yang mendorong kita untuk senantiasa taat pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, baik saat terang-terangan maupun saat sendirian, baik di depan umum maupun dalam kesunyian hati. Taqwa adalah payung besar yang mencakup keimanan, ketaatan, dan kehati-hatian.
Ketika seseorang berkurban, yang dilihat oleh Allah bukanlah seberapa gemuk hewannya, seberapa mahal harganya, atau seberapa rapi proses penyembelihannya (meskipun syariat mengajarkan untuk melakukannya dengan ihsan, dengan cara terbaik). Yang dilihat adalah *apa yang ada di dalam hati* orang tersebut. Apakah kurban itu dilakukan dengan niat yang murni hanya karena Allah? Apakah ia didasari oleh rasa taqwa, rasa tunduk, dan rasa syukur atas segala nikmat dan petunjuk yang telah Allah berikan? Inilah yang "sampai" kepada Allah, inilah yang diterima, inilah yang bernilai di sisi-Nya.
Ayat ini melanjutkan dengan pengingat yang indah: "Demikianlah Ia memudahkan binatang-binatang itu bagi kamu supaya kamu membesarkan Allah kerana mendapat nikmat petunjukNya." Lihatlah, kemudahan kita untuk bisa memiliki hewan kurban, kemampuan kita untuk melaksanakannya, itu semua adalah nikmat dari Allah, bukti dari petunjuk-Nya yang telah sampai kepada kita. Dengan melaksanakan kurban, kita tidak hanya beribadah, tetapi kita juga sedang menggemakan takbir, membesarkan nama Allah, mengakui keagungan-Nya atas petunjuk yang telah membimbing kita menuju amal saleh ini.
Dan penutup ayat ini adalah kabar gembira: "Dan sampaikanlah berita gembira (dengan balasan yang sebaik-baiknya) kepada orang-orang yang berusaha supaya baik amalnya (Muhsinin)." Siapa Muhsinin itu? Mereka adalah orang-orang yang berbuat ihsan. Ihsan adalah level tertinggi dalam beragama, melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya, seolah-olah Anda melihat Allah, dan jika Anda tidak bisa melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihat Anda. Berkurban dengan taqwa dan ikhlas adalah manifestasi dari ihsan. Mereka yang berkurban dengan hati yang bersih, niat yang tulus, dan didasari taqwa, merekalah Muhsinin yang berhak mendapatkan kabar gembira berupa balasan yang terbaik dari Allah.
Jadi, mari kita ubah cara pandang kita terhadap kurban. Ia bukan sekadar ritual potong hewan. Ia adalah ujian keikhlasan, cermin ketakwaan, dan latihan untuk menjadi seorang Muhsin. Ia adalah kesempatan emas untuk membersihkan hati dari karat ego dan keserakahan, dan menyambungkan diri kita lebih erat lagi dengan Sang Khaliq.
Disiplin Diri dan Larangan bagi Pekurban: Mengasah Kesabaran dan Ketaatan
Selain keutamaan yang luar biasa, syariat Islam juga mengatur tata cara dan adab bagi mereka yang hendak melaksanakan ibadah kurban. Ini bukan tanpa alasan. Setiap aturan dalam Islam, sekecil apa pun, pasti mengandung hikmah dan bertujuan untuk mendidik jiwa kita, melatih kedisiplinan, dan meningkatkan kualitas penghambaan kita kepada Allah. Salah satu aturan spesifik yang berlaku bagi orang yang berniat berkurban adalah adanya larangan memotong rambut dan kuku.
Larangan ini bukanlah detail remeh-temeh. Ia adalah bagian dari rangkaian ibadah yang dimulai sejak masuknya bulan Dzulhijjah, bulan yang sangat istimewa. Larangan ini didasari oleh hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, Hindun bintu Abi Umayyah radhiyallahu’anha. Beliau menuturkan bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَن كانَ له ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فإذا أُهِلَّ هِلالُ ذِي الحِجَّةِ، فلا يَأْخُذَنَّ مِن شَعْرِهِ، ولا مِن أظْفارِهِ شيئًا حتَّى يُضَحِّيَ
Artinya: “Barangsiapa yang memiliki hewan sembelihan (untuk kurban) yang hendak ia sembelih, maka apabila hilal Dzulhijjah telah terlihat, janganlah ia mengambil (memotong) sesuatu dari rambutnya dan jangan pula dari kuku-kukunya sedikit pun sampai ia menyembelih (hewannya).”
Hadis ini jelas sekali memberikan panduan. Begitu hilal Dzulhijjah terlihat, menandai masuknya tanggal 1 Dzulhijjah, maka bagi Anda yang sudah berniat dan mampu berkurban, berlakulah larangan ini. Jangan potong rambut, jangan potong kuku. Larangan ini berlaku sampai kapan? Sampai hewan kurban Anda disembelih. Begitu proses penyembelihan selesai, larangan itu pun berakhir, dan Anda boleh kembali memotong rambut dan kuku seperti biasa.
Apa hikmah di balik larangan ini? Meskipun Hadis dan ayat yang kita bahas sebelumnya tidak secara eksplisit menjelaskan *mengapa* ada larangan ini, kita bisa merenungkan beberapa aspek spiritualnya. Larangan ini bisa dilihat sebagai bentuk pensucian diri secara fisik menjelang ibadah besar. Mirip dengan orang yang berihram untuk Haji atau Umrah, mereka juga dilarang memotong rambut dan kuku. Larangan ini menciptakan semacam kondisi khusus, kondisi kesucian dan penyerahan diri yang dimulai bahkan sebelum hari H penyembelihan.
Ini juga bisa dilihat sebagai latihan kesabaran dan ketaatan. Selama kurang lebih sepuluh hari (dari tanggal 1 Dzulhijjah hingga Hari Raya atau Hari Tasyrik saat penyembelihan dilakukan), Anda diminta untuk menahan diri dari kebiasaan yang mungkin rutin Anda lakukan. Ini adalah pengingat yang konstan akan niat Anda untuk berkurban. Setiap kali Anda melihat rambut atau kuku Anda yang memanjang, Anda teringat, "Oh iya, saya sedang dalam masa persiapan untuk kurban, saya sedang mendekatkan diri kepada Allah."
Larangan ini juga membedakan orang yang berkurban dengan orang lain. Ia memberikan identitas spiritual sementara, menandai bahwa Anda sedang berada dalam periode ibadah yang istimewa. Ia adalah bentuk penghormatan terhadap syariat dan proses ibadah itu sendiri. Melaksanakan larangan ini dengan penuh kesadaran dan ketaatan akan menambah bobot spiritual dari kurban yang Anda lakukan, karena ia menunjukkan kesediaan Anda untuk patuh pada detail-detail kecil sekalipun, semata-mata demi meraih ridha Allah.
Tentu saja, yang terpenting dari semua ini, seperti yang ditekankan dalam Al-Quran, bukanlah sekadar menahan diri memotong rambut atau kuku. Itu hanyalah bentuk fisik dari ketaatan. Intinya tetap pada niat yang tulus, hati yang bersih, dan taqwa yang kokoh. Larangan ini adalah salah satu cara Allah mendidik kita, melatih kita untuk disiplin dan fokus pada tujuan spiritual yang lebih besar.
Menutup Refleksi Kurban: Investasi Akhirat yang Paling Berharga
Jadi, mari kita rekap sejenak. Ibadah kurban pada Hari Raya Iduladha dan Hari Tasyrik bukan sekadar tradisi tahunan, bukan sekadar berbagi daging. Ia adalah ibadah yang paling utama, sebuah investasi spiritual yang keuntungannya akan kita petik kelak di Hari Kiamat, di mana hewan kurban kita akan datang sebagai saksi dan pahala.
Ia adalah sarana ampuh untuk mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan hati dari penyakit-penyakit modern seperti egoisme, keserakahan, dan individualisme. Ia mengajarkan kita untuk melepaskan kecintaan pada dunia dan mengalihkannya pada cinta kepada Sang Pencipta.
Seperti yang Hadis Aisyah sampaikan, ia adalah amalan yang paling dicintai Allah pada hari itu, sebuah tindakan pelepasan darah (simbol kehidupan dan harta) yang diterima langsung oleh Allah, bahkan sebelum menyentuh bumi. Ia membutuhkan kelapangan jiwa, kerelaan hati untuk berkorban.
Dan Al-Quran surat Al-Hajj ayat 37 mengingatkan kita dengan sangat jelas: Allah tidak membutuhkan daging atau darahnya. Yang sampai kepada-Nya, yang bernilai di sisi-Nya, adalah ketakwaan dan ketulusan yang mendorong kita untuk melakukannya. Ia adalah manifestasi dari rasa syukur atas petunjuk-Nya dan kesempatan untuk menjadi Muhsinin, orang-orang yang berbuat kebaikan dengan sebaik-baiknya.
Bahkan detail seperti larangan memotong rambut dan kuku bagi pekurban sejak awal Dzulhijjah adalah bagian dari proses pendisiplinan diri, pengingat konstan akan ibadah besar yang akan dilaksanakan, melatih kesabaran, dan meningkatkan kesadaran spiritual.
Kurban adalah sebuah paket lengkap ibadah yang menggabungkan dimensi fisik dan spiritual, dimensi vertikal dan horizontal. Ia adalah pengingat tahunan yang kuat bahwa hidup ini adalah tentang penyerahan diri kepada Allah, tentang melepaskan apa yang kita cintai di dunia demi meraih apa yang jauh lebih besar di akhirat. Ia adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa cinta kita kepada Allah lebih besar dari cinta kita kepada harta benda dan kenyamanan diri.
Jadi, bagi Anda yang diberi kemampuan oleh Allah untuk berkurban tahun ini, laksanakanlah dengan penuh keikhlasan dan taqwa. Rasakan setiap makna di baliknya. Rasakan beratnya melepaskan, dan rasakan manisnya janji balasan dari Allah. Dan bagi Anda yang belum diberi kemampuan, jangan berkecil hati. Niatkanlah dengan tulus, doakanlah agar kelak bisa melaksanakannya, dan ikutlah merasakan kebersamaan dan keberkahan Iduladha dengan cara-cara lain, seperti berpuasa di hari Arafah, memperbanyak takbir, dan membantu saudara-saudara yang membutuhkan.
Semoga ibadah kurban kita diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, membersihkan hati kita, dan membawa kita lebih dekat lagi kepada-Nya. Iduladha Mubarak!
```
Komentar
Posting Komentar