**Mengupas Tuntas Polemik Pengadaan Laptop Era Nadiem: Bukan Mengubah, Tapi Ada Dua Kajian Berbeda? Hotman Paris Buka Suara!**
Halo semua! Kembali lagi kita di sini, membahas sebuah isu yang hangat, yang melibatkan nama besar, dan tentu saja, uang rakyat dalam jumlah yang tak sedikit. Kali ini sorotan kita mengarah ke dunia pendidikan, tepatnya di masa kepemimpinan Bapak Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, atau Mendikbudristek. Topiknya? Pengadaan laptop. Ya, benda yang kita gunakan sehari-hari ini ternyata bisa jadi pusat badai tudingan. Dan yang menarik perhatian, sosok pengacara kondang, yang gayanya khas, siapa lagi kalau bukan Bapak Hotman Paris Hutapea, ikut turun tangan membela.
Jadi begini, isu ini bukan isu sembarangan. Ini soal dugaan korupsi, pengadaan barang dalam jumlah besar, dan spesifikasi teknis yang jadi perdebatan. Angkanya pun fantastis, mencapai Rp 9,9 triliun! Bayangkan saja, triliunan rupiah dialokasikan untuk laptop di masa-masa krusial Pandemi Covid-19, ketika proses belajar mengajar banyak beralih ke daring. Niatnya mulia, memastikan anak-anak kita bisa tetap belajar. Tapi seperti banyak proyek besar lainnya, selalu ada celah atau setidaknya, pertanyaan besar yang muncul ke permukaan.
Nah, tudingan yang paling santer terdengar, dan inilah yang coba diluruskan, adalah Nadiem Makarim dituding telah *mengubah* kajian atau studi terkait pengadaan laptop ini. Mengubah kajian, konon katanya, agar spesifikasi tertentu, spesifikasi OS Chromebook, bisa "dimenangkan" atau diakomodasi dalam pengadaan tersebut. Ini tudingan serius, karena jika benar, ini bisa masuk kategori manipulasi proses, sebuah unsur yang sangat krusial dalam melihat ada tidaknya perbuatan melawan hukum, terutama dalam konteks pengadaan barang oleh negara. Tuduhan ini seperti menyiratkan adanya campur tangan yang tidak semestinya, "mengutak-atik" hasil analisis awal demi hasil akhir yang diinginkan, yaitu terpilihnya spesifikasi Chromebook.
**Pembelaan Keras dari Hotman Paris: Bukan Mengubah, Ada Dua Kajian Berbeda!**
Di sinilah peran Hotman Paris masuk. Dalam sebuah konferensi pers yang digelar di kawasan Jakarta Selatan, hari Selasa, tanggal 10 Juni 2025, Hotman, didampingi Nadiem Makarim sendiri, tampil ke publik. Gayanya seperti biasa, lugas, percaya diri, dan langsung menuju inti persoalan. Apa pembelaan utama yang ia sampaikan? Ia dengan tegas menyangkal bahwa kliennya, Nadiem Makarim, telah mengubah kajian pengadaan laptop tersebut.
Hotman Paris bilang begini, dan ini intinya, "Kan seolah-olah Nadiem ini merubah kajian, itu paling basic-nya di situ, unsur melawan hukum yang dituduhkan itu merubah kajian agar Chromebook dimenangkan. Ternyata itu dua kajian yang berbeda."
Mari kita bedah pelan-pelan pernyataan Hotman ini. Frasa kunci di sini adalah "dua kajian yang berbeda". Hotman tidak membantah adanya kajian terkait pengadaan laptop ini. Itu wajar, kan? Setiap proyek besar, apalagi yang melibatkan anggaran triliunan rupiah, pasti didahului dengan studi, analisis kebutuhan, kajian teknis, kajian harga, dan berbagai macam telaah lainnya. Pemerintah tidak bisa sembarangan membeli barang tanpa dasar kajian yang kuat. Kajian ini penting untuk memastikan barang yang dibeli sesuai kebutuhan, efisien, dan tentu saja, harganya wajar sesuai nilai pasar.
Tudingan yang beredar, menurut Hotman, adalah seolah-olah Nadiem mengambil *satu* kajian yang sudah ada, lalu *mengubahnya* isinya, memanipulasinya, agar outputnya mengarah pada spesifikasi Chromebook. Ini persepsi yang dibangun, atau setidaknya tudingan yang dilemparkan, yang membuat seolah-olah ada proses rekayasa di balik pengadaan ini. Hotman datang untuk membongkar persepsi itu.
Menurut versi Hotman Paris, faktanya bukan Nadiem mengubah *satu* kajian. Bukan. Yang terjadi, klaim Hotman, adalah adanya *dua kajian yang berbeda*. Dua studi yang terpisah, mungkin dilakukan di waktu yang berbeda, dengan pendekatan yang berbeda, atau fokus yang berbeda. Dua kajian ini, bisa jadi, menghasilkan rekomendasi atau kesimpulan yang berbeda pula.
Mengapa perbedaan antara "mengubah satu kajian" dan "adanya dua kajian berbeda" ini begitu penting dalam konteks hukum dan tudingan korupsi? Karena unsur melawan hukum yang dituduhkan itu, seperti yang disebutkan Hotman, adalah pada tindakan *mengubah* kajian. Jika terbukti Nadiem *mengubah* sebuah kajian yang sebelumnya netral atau mengarah ke spesifikasi lain, lalu diubah agar mengarah ke Chromebook, maka di situlah letak manipulasi dan potensi perbuatan melawan hukumnya. Tapi jika faktanya ada *dua* kajian yang berbeda sejak awal, maka tudingan *mengubah* kajian menjadi tidak relevan. Pertanyaannya bergeser, mengapa ada dua kajian? Bagaimana dua kajian itu dihasilkan? Mana yang menjadi dasar keputusan akhir? Namun, intinya adalah, sanggahan Hotman langsung memukul telak pada inti tudingan spesifik: tudingan Nadiem *mengubah* kajian.
**Polemik Pengadaan Laptop di Masa Pandemi: Anggaran Triliunan dan Kebutuhan Mendesak**
Mari kita tarik mundur sedikit. Pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun ini bergulir di masa puncak Pandemi Covid-19. Saat itu, sekolah-sekolah ditutup, kegiatan belajar mengajar beralih ke rumah. Jutaan siswa dan guru membutuhkan perangkat dan akses internet agar proses pendidikan tidak terhenti. Kebutuhan akan laptop, tablet, atau perangkat sejenis melonjak drastis. Pemerintah melalui Kemendikbudristek berupaya menyediakan sarana ini, terutama bagi siswa dan guru di daerah yang minim akses atau ekonomi.
Namun, seperti layaknya mega proyek di tengah krisis, prosesnya tentu tidak mulus dari sisi pengawasan. Anggaran besar selalu menarik perhatian, baik dari sisi positif (kesempatan pemerataan akses pendidikan) maupun negatif (potensi penyelewengan dana). Ketika ada pengadaan dalam jumlah masif seperti ini, spesifikasi teknis menjadi sangat krusial. Setiap detail, mulai dari jenis prosesor, kapasitas RAM, memori penyimpanan, ukuran layar, daya tahan baterai, hingga sistem operasi (OS), menjadi bahan pertimbangan yang matang. Dan tentu saja, harga per unitnya.
Di sinilah nama "Chromebook" muncul ke permukaan. Chromebook adalah jenis laptop yang menjalankan sistem operasi Chrome OS dari Google. Karakternya ringan, cepat booting, sangat bergantung pada koneksi internet dan layanan berbasis cloud Google (seperti Google Workspace for Education), umumnya harganya relatif terjangkau dibandingkan laptop Windows atau Mac dengan spesifikasi tinggi, dan manajemennya konon lebih mudah untuk deployment massal di lingkungan sekolah. Bagi banyak pengamat pendidikan dan teknologi, Chromebook dilihat sebagai pilihan yang logis untuk kebutuhan pendidikan massal, terutama di era digital.
Namun, pemilihan spesifikasi tertentu, apalagi jika dikaitkan dengan anggaran besar, selalu rentan terhadap pertanyaan. Apakah spesifikasi ini yang paling optimal? Apakah ada alternatif lain yang lebih baik atau lebih murah? Apakah proses pemilihannya transparan dan akuntabel? Dan yang paling krusial, apakah ada faktor non-teknis atau non-profesional yang memengaruhi pengambilan keputusan spesifikasi tersebut? Di sinilah tudingan bahwa ada pihak yang "menggoreng" atau merekayasa proses agar Chromebook yang terpilih muncul. Dan tudingan itu, spesifiknya, menyasar Nadiem Makarim dengan klaim bahwa ia mengubah kajian demi memuluskan jalan bagi Chromebook.
**Kajian versus Dua Kajian: Sebuah Detail yang Mengubah Perspektif?**
Kembali ke poin utama Hotman Paris. Ia tidak membantah adanya kajian atau studi. Yang ia bantah adalah narasi bahwa hanya ada *satu* kajian yang kemudian diubah. Menurutnya, yang benar adalah adanya *dua kajian yang berbeda*.
Detail ini, sekilas, mungkin terdengar sepele. Apa bedanya satu kajian diubah dengan adanya dua kajian berbeda? Dalam konteks hukum, perbedaannya bisa sangat signifikan. Jika ada satu kajian awal yang bersifat umum atau menganalisis berbagai opsi, lalu kajian itu diintervensi dan diubah isinya untuk secara spesifik mengarahkan pada satu vendor atau satu jenis spesifikasi (misalnya, Chromebook), maka bukti perubahan itu bisa menjadi bukti adanya manipulasi. Jejak digital, draf kajian awal, draf kajian perubahan, hingga komunikasi terkait perubahan itu bisa ditelusuri.
Tapi jika sejak awal memang ada *dua kajian* yang berbeda, misalnya Kajian A dan Kajian B, yang dilakukan mungkin oleh tim yang berbeda, dengan mandat yang sedikit berbeda, atau di waktu yang berdekatan tapi terpisah, maka narasi "mengubah kajian" menjadi tidak tepat. Yang mungkin terjadi adalah, dari dua kajian itu, salah satu yang kemudian diambil sebagai dasar keputusan (atau bahkan kombinasi dari keduanya, atau kajian ketiga yang merangkum dua kajian sebelumnya – meski Hotman spesifik menyebut "dua kajian berbeda").
Jika ada dua kajian berbeda, pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa ada dua? Apa perbedaan metodologi atau fokusnya? Siapa yang melakukan kajian-kajian tersebut? Mengapa satu kajian (atau aspek dari satu kajian) lebih dipilih daripada yang lain dalam pengambilan keputusan akhir spesifikasi? Ini pertanyaan yang valid dan perlu dijawab untuk transparansi. Namun, dari sudut pandang pembelaan terhadap tudingan "mengubah kajian", argumen "ada dua kajian berbeda" ini secara langsung menyerang fondasi tudingan spesifik tersebut. Hotman seolah berkata, "Tudinganmu salah alamat. Masalahnya bukan mengubah, masalahnya mungkin ada di proses pemilihan dari dua kajian yang sudah ada."
Ini adalah strategi pembelaan yang cerdik. Alih-alih membantah adanya masalah dalam pengadaan secara keseluruhan (yang mungkin sulit dilakukan mengingat besarnya nilai dan potensi celah), Hotman fokus membantah *satu* tudingan spesifik yang dianggapnya sebagai "basic-nya" atau dasar dari unsur melawan hukum yang dituduhkan, yaitu tindakan *mengubah* kajian. Jika tudingan inti ini bisa dipatahkan dengan bukti adanya dua kajian berbeda, maka fondasi kasusnya bisa goyah, setidaknya untuk aspek manipulasi kajian.
**Spesifikasi Chromebook dan Relevansinya dengan Tudingan**
Mengapa spesifikasi Chromebook begitu sentral dalam isu ini? Karena tudingannya spesifik mengarah pada pemilihan spesifikasi OS ini. Ada dugaan bahwa proses kajian dan pengadaan "diarahkan" agar yang terpilih adalah perangkat berbasis Chrome OS. Tentu ada berbagai alasan mengapa spesifikasi ini bisa dianggap cocok atau tidak cocok untuk kebutuhan pendidikan di Indonesia.
Dari sisi pendukung Chromebook untuk pendidikan, argumennya seringkali meliputi: biaya total kepemilikan yang rendah (harga perangkat lebih terjangkau, lisensi software gratis melalui Google Workspace for Education), kemudahan manajemen bagi administrator sekolah, fokus pada keamanan data di cloud, dan ekosistem aplikasi pendidikan yang terus berkembang di platform Google. Untuk deployment massal di sekolah-sekolah dengan sumber daya terbatas, ini bisa jadi pilihan yang menarik.
Namun, di sisi lain, ada juga kritik terhadap penggunaan Chromebook secara massal di Indonesia. Ketergantungan pada koneksi internet yang stabil menjadi masalah di banyak daerah pelosok. Fungsionalitas offline yang terbatas bisa menghambat proses belajar jika tidak ada internet. Fleksibilitas untuk menginstal berbagai jenis software (dibandingkan Windows) juga lebih terbatas, yang mungkin diperlukan untuk mata pelajaran tertentu seperti desain grafis, pemrograman, atau software khusus lainnya. Ada juga pertanyaan tentang spesifikasi hardware minimum yang diperlukan untuk menjalankan Chrome OS dengan lancar dan mendukung aplikasi pendidikan modern.
Tudingan bahwa kajian diubah untuk memenangkan Chromebook menyiratkan bahwa mungkin ada spesifikasi lain yang sebenarnya lebih cocok, atau setidaknya sama cocoknya dengan harga yang lebih kompetitif, namun disingkirkan demi spesifikasi ini. Atau bahwa proses pemilihan tidak didasarkan sepenuhnya pada kebutuhan objektif dan analisis mendalam, melainkan ada dorongan dari pihak tertentu untuk memilih Chromebook. Dengan membantah Nadiem *mengubah* kajian, Hotman Paris berusaha mengatakan bahwa pemilihan spesifikasi (yang mengarah pada Chromebook, seperti yang terjadi dalam pengadaan itu) bukanlah hasil dari manipulasi kajian tunggal, melainkan mungkin hasil dari pertimbangan berdasarkan (salah satu dari) dua kajian yang berbeda yang memang sudah ada.
**Konferensi Pers di Jakarta Selatan: Panggung Pembelaan Publik**
Lokasi dan waktu konferensi pers ini juga penting untuk dicatat. Digelar di kawasan Jakarta Selatan, yang sering menjadi lokasi strategis untuk menyampaikan pernyataan publik oleh tokoh-tokoh nasional. Kehadiran Nadiem Makarim secara langsung mendampingi Hotman Paris menunjukkan keseriusan mereka dalam menghadapi tudingan ini. Ini bukan sekadar pernyataan tertulis atau diwakilkan oleh staf. Nadiem sendiri hadir, mendengarkan pembelaan yang disampaikan pengacaranya, dan tentu saja, siap menghadapi pertanyaan dari awak media (meskipun laporan yang diberikan hanya mencakup pernyataan Hotman).
Kehadiran Nadiem di samping Hotman Paris juga memberikan sinyal kepada publik dan pihak berwenang bahwa ia tidak menghindar dari isu ini. Ia tampil di depan, bersama kuasa hukumnya, untuk memberikan penjelasan. Ini adalah bagian dari strategi komunikasi untuk membangun kepercayaan dan menunjukkan kooperatif.
**Nadiem Siap Bersaksi: Sinyal Kooperatif di Tengah Proses Hukum?**
Poin lain yang disebutkan dalam konteks ini, dan ini juga relevan dengan sikap mereka, adalah kesiapan Nadiem untuk memberikan keterangan terkait dugaan korupsi pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun di Kemendikbudristek. Informasi ini, yang muncul sebagai catatan "Baca juga" dalam berita asli, menunjukkan bahwa mereka tidak hanya melakukan pembelaan publik, tetapi juga siap mengikuti proses hukum formal.
Kesiapan untuk bersaksi atau memberikan keterangan kepada pihak berwenang (apakah itu Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK, atau lembaga penegak hukum lainnya yang mungkin menangani kasus ini) adalah langkah yang standar bagi seseorang yang sedang menghadapi tudingan atau penyelidikan. Ini menunjukkan sikap kooperatif dan kesediaan untuk menjelaskan duduk perkara dari versinya. Dalam konteks dugaan korupsi, memberikan keterangan seringkali menjadi momen krusial bagi seseorang untuk menyampaikan alibi, menjelaskan proses pengambilan keputusan, atau membantah tudingan yang diarahkan kepadanya.
Jadi, gabungan antara pembelaan publik yang tegas oleh Hotman Paris (yang spesifik membantah tudingan mengubah kajian) dan kesiapan Nadiem Makarim untuk bersaksi memberikan gambaran bahwa pihak Nadiem sedang mengambil langkah-langkah proaktif untuk menghadapi isu ini. Mereka tidak diam. Mereka berbicara, dan mereka siap untuk diperiksa.
**Menilik Lebih Dalam: Apa Arti Dua Kajian Berbeda dalam Praktik Pengadaan?**
Mari kita coba berandai-andai sejenak, hanya untuk memahami implikasi dari pernyataan Hotman tentang "dua kajian berbeda", tentu saja tanpa menambah fakta baru yang tidak ada di sumber. Dalam praktik pengadaan barang/jasa pemerintah, tidak jarang sebuah kebutuhan dianalisis dari berbagai sudut pandang atau oleh tim yang berbeda. Misalnya, satu tim bisa melakukan kajian kebutuhan teknis (spesifikasi minimal, performa), sementara tim lain melakukan kajian pasar (ketersediaan vendor, harga wajar, biaya operasional). Bisa juga, ada kajian perbandingan antara beberapa alternatif teknologi (misalnya, Windows vs. Chrome OS vs. solusi tablet).
Adanya dua kajian berbeda bisa disebabkan oleh berbagai hal:
1. **Perbedaan Fokus:** Kajian pertama fokus pada satu aspek (misalnya, kebutuhan fungsional minimal), kajian kedua fokus pada aspek lain (misalnya, efisiensi biaya dan kemudahan manajemen massal).
2. **Perbedaan Waktu:** Kajian pertama dilakukan di tahap awal perencanaan, kajian kedua dilakukan belakangan untuk mempertimbangkan perkembangan teknologi atau kondisi pasar terbaru di tengah pandemi.
3. **Perbedaan Metodologi:** Dua tim yang berbeda menggunakan pendekatan analisis yang berbeda.
4. **Mandat Berbeda:** Masing-masing kajian diminta untuk mengeksplorasi opsi atau skenario yang berbeda.
Jika memang ada dua kajian yang berbeda, misalnya Kajian A dan Kajian B, dan Kajian B lebih mendukung pemilihan spesifikasi yang pada akhirnya diambil (misalnya, spesifikasi yang memungkinkan penggunaan Chromebook), maka keputusan untuk mendasarkan pengadaan pada Kajian B (atau aspek-aspek dari Kajian B) bukanlah tindakan *mengubah* Kajian A. Itu adalah tindakan *memilih* dasar kajian yang dianggap paling relevan atau paling sesuai dengan prioritas saat itu.
Namun, meskipun tindakan *memilih* satu kajian dari dua yang berbeda mungkin bukan "mengubah", proses pemilihan itu sendiri tetap bisa menjadi objek pertanyaan dan audit. Mengapa Kajian B yang dipilih, bukan Kajian A? Apakah ada alasan profesional dan objektif di baliknya? Apakah Kajian A dan B sama-sama valid dan komprehensif? Apakah ada intervensi dalam proses *pemilihan* kajian yang dijadikan dasar, meskipun tidak ada intervensi dalam *isi* kajian itu sendiri?
Inilah kompleksitasnya. Dengan Hotman Paris bersikeras pada "dua kajian yang berbeda", ia berhasil mengalihkan fokus dari tudingan spesifik "mengubah kajian". Sekarang, bola panasnya mungkin bergulir ke arah pertanyaan: "Mengapa dua kajian itu berbeda?" dan "Mengapa salah satu kajian (atau kombinasi darinya) yang dipilih?"
Namun, perlu diingat, Hotman Paris hanya menyampaikan bahwa ada dua kajian berbeda, dan ini menggugurkan tudingan Nadiem mengubah kajian. Ia tidak merinci isi kedua kajian itu, perbedaan persisnya, atau mengapa kajian yang mengarah pada spesifikasi tertentu (yang relevan dengan Chromebook) akhirnya dipilih. Detail-detail tersebut mungkin baru akan terungkap jika kasus ini terus bergulir ke tahap penyelidikan yang lebih dalam dan Nadiem benar-benar memberikan kesaksian.
**Menjaga Kepercayaan Publik: Transparansi adalah Kunci**
Kasus dugaan korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, apalagi yang nilainya triliunan rupiah dan terkait dengan kebutuhan mendasar seperti pendidikan di masa krisis, selalu menjadi perhatian serius publik. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara sangat bergantung pada bagaimana isu-isu semacam ini ditangani.
Pembelaan oleh Hotman Paris yang menekankan adanya "dua kajian berbeda" adalah langkah awal dalam menjawab tudingan spesifik. Ini adalah cara untuk membangun narasi tandingan terhadap tudingan yang sudah beredar luas. Kehadiran Nadiem Makarim dan kesiapannya untuk bersaksi juga menunjukkan bahwa ia memilih jalur kooperatif dalam menghadapi proses hukum.
Namun, untuk sepenuhnya mengembalikan kepercayaan publik dan meluruskan isu ini, mungkin dibutuhkan lebih dari sekadar sanggahan awal. Transparansi penuh mengenai proses pengadaan, termasuk detail mengenai kajian-kajian yang dilakukan (berapa jumlahnya, siapa yang melakukan, apa hasilnya), alasan pemilihan spesifikasi tertentu, dan bagaimana anggaran yang besar itu dikelola, akan sangat penting. Publik berhak tahu apakah uang triliunan yang dialokasikan itu benar-benar digunakan secara efektif, efisien, dan bebas dari praktik KKN.
Pernyataan Hotman Paris tentang "dua kajian berbeda" ini hanyalah satu keping dari puzzle besar kasus dugaan korupsi pengadaan laptop ini. Ini adalah respons terhadap satu tudingan spesifik. Masih ada banyak aspek lain yang mungkin akan diperiksa oleh pihak berwenang, mulai dari proses perencanaan anggaran, penentuan harga perkiraan sendiri (HPS), proses tender, hingga pelaksanaan distribusi barangnya.
Apa yang disampaikan Hotman Paris dan Nadiem Makarim dalam konferensi pers itu adalah sinyal kuat bahwa mereka punya versi cerita yang berbeda dari tudingan yang beredar. Versi yang menekankan bahwa tidak ada manipulasi kajian tunggal, melainkan adanya dua kajian yang menjadi dasar pertimbangan. Bagaimana versi ini akan diterima oleh publik dan, yang paling penting, oleh pihak penegak hukum, masih harus kita tunggu perkembangannya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap rupiah uang rakyat yang dikelola oleh pemerintah harus dipertanggungjawabkan dengan transparan. Pengadaan barang dan jasa, meskipun di tengah situasi mendesak seperti pandemi, harus tetap mengikuti prinsip-prinsip tata kelola yang baik untuk menghindari celah korupsi. Pembelaan dari Hotman Paris ini membuka babak baru dalam narasi seputar isu pengadaan laptop Kemendikbudristek Rp 9,9 triliun. Fokus kini beralih ke detail tentang "dua kajian berbeda" yang disebutkannya. Apakah detail ini akan membuktikan Nadiem tidak bersalah dalam konteks manipulasi kajian, atau justru akan membuka pertanyaan baru tentang proses pengambilan keputusan berdasarkan kajian-kajian tersebut? Waktu dan proses hukum yang berjalanlah yang akan menjawabnya. Yang jelas, ini adalah sebuah cerita yang masih panjang untuk diikuti. Tetaplah kritis, tetaplah mencari informasi dari berbagai sumber yang terpercaya, dan mari kita awasi bersama bagaimana isu penting ini diselesaikan demi kebaikan pendidikan anak-anak kita dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara.
Mengupas Tuntas Polemik Pengadaan Laptop Era Nadiem: Bukan Mengubah, Tapi Ada Dua Kajian Berbeda? Hotman Paris Buka Suara!
Halo semua! Kembali lagi kita di sini, membahas sebuah isu yang hangat, yang melibatkan nama besar, dan tentu saja, uang rakyat dalam jumlah yang tak sedikit. Kali ini sorotan kita mengarah ke dunia pendidikan, tepatnya di masa kepemimpinan Bapak Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, atau Mendikbudristek. Topiknya? Pengadaan laptop. Ya, benda yang kita gunakan sehari-hari ini ternyata bisa jadi pusat badai tudingan. Dan yang menarik perhatian, sosok pengacara kondang, yang gayanya khas, siapa lagi kalau bukan Bapak Hotman Paris Hutapea, ikut turun tangan membela.
Jadi begini, isu ini bukan isu sembarangan. Ini soal dugaan korupsi, pengadaan barang dalam jumlah besar, dan spesifikasi teknis yang jadi perdebatan. Angkanya pun fantastis, mencapai Rp 9,9 triliun! Bayangkan saja, triliunan rupiah dialokasikan untuk laptop di masa-masa krusial Pandemi Covid-19, ketika proses belajar mengajar banyak beralih ke daring. Niatnya mulia, memastikan anak-anak kita bisa tetap belajar. Tapi seperti banyak proyek besar lainnya, selalu ada celah atau setidaknya, pertanyaan besar yang muncul ke permukaan.
Nah, tudingan yang paling santer terdengar, dan inilah yang coba diluruskan, adalah Nadiem Makarim dituding telah mengubah kajian atau studi terkait pengadaan laptop ini. Mengubah kajian, konon katanya, agar spesifikasi tertentu, spesifikasi OS Chromebook, bisa "dimenangkan" atau diakomodasi dalam pengadaan tersebut. Ini tudingan serius, karena jika benar, ini bisa masuk kategori manipulasi proses, sebuah unsur yang sangat krusial dalam melihat ada tidaknya perbuatan melawan hukum, terutama dalam konteks pengadaan barang oleh negara. Tuduhan ini seperti menyiratkan adanya campur tangan yang tidak semestinya, "mengutak-atik" hasil analisis awal demi hasil akhir yang diinginkan, yaitu terpilihnya spesifikasi Chromebook.
Pembelaan Keras dari Hotman Paris: Bukan Mengubah, Ada Dua Kajian Berbeda!
Di sinilah peran Hotman Paris masuk. Dalam sebuah konferensi pers yang digelar di kawasan Jakarta Selatan, hari Selasa, tanggal 10 Juni 2025, Hotman, didampingi Nadiem Makarim sendiri, tampil ke publik. Gayanya seperti biasa, lugas, percaya diri, dan langsung menuju inti persoalan. Apa pembelaan utama yang ia sampaikan? Ia dengan tegas menyangkal bahwa kliennya, Nadiem Makarim, telah mengubah kajian pengadaan laptop tersebut.
Hotman Paris bilang begini, dan ini intinya, "Kan seolah-olah Nadiem ini merubah kajian, itu paling basic-nya di situ, unsur melawan hukum yang dituduhkan itu merubah kajian agar Chromebook dimenangkan. Ternyata itu dua kajian yang berbeda."
Mari kita bedah pelan-pelan pernyataan Hotman ini. Frasa kunci di sini adalah "dua kajian yang berbeda". Hotman tidak membantah adanya kajian terkait pengadaan laptop ini. Itu wajar, kan? Setiap proyek besar, apalagi yang melibatkan anggaran triliunan rupiah, pasti didahului dengan studi, analisis kebutuhan, kajian teknis, kajian harga, dan berbagai macam telaah lainnya. Pemerintah tidak bisa sembarangan membeli barang tanpa dasar kajian yang kuat. Kajian ini penting untuk memastikan barang yang dibeli sesuai kebutuhan, efisien, dan tentu saja, harganya wajar sesuai nilai pasar.
Tudingan yang beredar, menurut Hotman, adalah seolah-olah Nadiem mengambil satu kajian yang sudah ada, lalu mengubahnya isinya, memanipulasinya, agar outputnya mengarah pada spesifikasi Chromebook. Ini persepsi yang dibangun, atau setidaknya tudingan yang dilemparkan, yang membuat seolah-olah ada proses rekayasa di balik pengadaan ini. Hotman datang untuk membongkar persepsi itu.
Menurut versi Hotman Paris, faktanya bukan Nadiem mengubah satu kajian. Bukan. Yang terjadi, klaim Hotman, adalah adanya dua kajian yang berbeda. Dua studi yang terpisah, mungkin dilakukan di waktu yang berbeda, dengan pendekatan yang berbeda, atau fokus yang berbeda. Dua kajian ini, bisa jadi, menghasilkan rekomendasi atau kesimpulan yang berbeda pula.
Mengapa perbedaan antara "mengubah satu kajian" dan "adanya dua kajian berbeda" ini begitu penting dalam konteks hukum dan tudingan korupsi? Karena unsur melawan hukum yang dituduhkan itu, seperti yang disebutkan Hotman, adalah pada tindakan mengubah kajian. Jika terbukti Nadiem mengubah sebuah kajian yang sebelumnya netral atau mengarah ke spesifikasi lain, lalu diubah agar mengarah ke Chromebook, maka di situlah letak manipulasi dan potensi perbuatan melawan hukumnya. Tapi jika faktanya ada dua kajian yang berbeda sejak awal, maka tudingan mengubah kajian menjadi tidak relevan. Pertanyaannya bergeser, mengapa ada dua kajian? Bagaimana dua kajian itu dihasilkan? Mana yang menjadi dasar keputusan akhir? Namun, intinya adalah, sanggahan Hotman langsung memukul telak pada inti tudingan spesifik: tudingan Nadiem mengubah kajian.
Polemik Pengadaan Laptop di Masa Pandemi: Anggaran Triliunan dan Kebutuhan Mendesak
Mari kita tarik mundur sedikit. Pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun ini bergulir di masa puncak Pandemi Covid-19. Saat itu, sekolah-sekolah ditutup, kegiatan belajar mengajar beralih ke rumah. Jutaan siswa dan guru membutuhkan perangkat dan akses internet agar proses pendidikan tidak terhenti. Kebutuhan akan laptop, tablet, atau perangkat sejenis melonjak drastis. Pemerintah melalui Kemendikbudristek berupaya menyediakan sarana ini, terutama bagi siswa dan guru di daerah yang minim akses atau ekonomi.
Namun, seperti layaknya mega proyek di tengah krisis, prosesnya tentu tidak mulus dari sisi pengawasan. Anggaran besar selalu menarik perhatian, baik dari sisi positif (kesempatan pemerataan akses pendidikan) maupun negatif (potensi penyelewengan dana). Ketika ada pengadaan dalam jumlah masif seperti ini, spesifikasi teknis menjadi sangat krusial. Setiap detail, mulai dari jenis prosesor, kapasitas RAM, memori penyimpanan, ukuran layar, daya tahan baterai, hingga sistem operasi (OS), menjadi bahan pertimbangan yang matang. Dan tentu saja, harga per unitnya.
Di sinilah nama "Chromebook" muncul ke permukaan. Chromebook adalah jenis laptop yang menjalankan sistem operasi Chrome OS dari Google. Karakternya ringan, cepat booting, sangat bergantung pada koneksi internet dan layanan berbasis cloud Google (seperti Google Workspace for Education), umumnya harganya relatif terjangkau dibandingkan laptop Windows atau Mac dengan spesifikasi tinggi, dan manajemennya konon lebih mudah untuk deployment massal di lingkungan sekolah. Bagi banyak pengamat pendidikan dan teknologi, Chromebook dilihat sebagai pilihan yang logis untuk kebutuhan pendidikan massal, terutama di era digital.
Namun, pemilihan spesifikasi tertentu, apalagi jika dikaitkan dengan anggaran besar, selalu rentan terhadap pertanyaan. Apakah spesifikasi ini yang paling optimal? Apakah ada alternatif lain yang lebih baik atau lebih murah? Apakah proses pemilihannya transparan dan akuntabel? Dan yang paling krusial, apakah ada faktor non-teknis atau non-profesional yang memengaruhi pengambilan keputusan spesifikasi tersebut? Di sinilah tudingan bahwa ada pihak yang "menggoreng" atau merekayasa proses agar Chromebook yang terpilih muncul. Dan tudingan itu, spesifiknya, menyasar Nadiem Makarim dengan klaim bahwa ia mengubah kajian demi memuluskan jalan bagi Chromebook.
Kajian versus Dua Kajian: Sebuah Detail yang Mengubah Perspektif?
Kembali ke poin utama Hotman Paris. Ia tidak membantah adanya kajian atau studi. Yang ia bantah adalah narasi bahwa hanya ada satu kajian yang kemudian diubah. Menurutnya, yang benar adalah adanya dua kajian yang berbeda.
Detail ini, sekilas, mungkin terdengar sepele. Apa bedanya satu kajian diubah dengan adanya dua kajian berbeda? Dalam konteks hukum, perbedaannya bisa sangat signifikan. Jika ada satu kajian awal yang bersifat umum atau menganalisis berbagai opsi, lalu kajian itu diintervensi dan diubah isinya untuk secara spesifik mengarahkan pada satu vendor atau satu jenis spesifikasi (misalnya, Chromebook), maka bukti perubahan itu bisa menjadi bukti adanya manipulasi. Jejak digital, draf kajian awal, draf kajian perubahan, hingga komunikasi terkait perubahan itu bisa ditelusuri.
Tapi jika sejak awal memang ada dua kajian yang berbeda, misalnya Kajian A dan Kajian B, yang dilakukan mungkin oleh tim yang berbeda, dengan pendekatan yang sedikit berbeda, atau di waktu yang berdekatan tapi terpisah, maka narasi "mengubah kajian" menjadi tidak tepat. Yang mungkin terjadi adalah, dari dua kajian itu, salah satu yang kemudian diambil sebagai dasar keputusan (atau bahkan kombinasi dari keduanya, atau kajian ketiga yang merangkum dua kajian sebelumnya – meski Hotman spesifik menyebut "dua kajian berbeda").
Jika ada dua kajian berbeda, pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa ada dua? Apa perbedaan metodologi atau fokusnya? Siapa yang melakukan kajian-kajian tersebut? Mengapa satu kajian (atau aspek dari satu kajian) lebih dipilih daripada yang lain dalam pengambilan keputusan akhir spesifikasi? Ini pertanyaan yang valid dan perlu dijawab untuk transparansi. Namun, dari sudut pandang pembelaan terhadap tudingan "mengubah kajian", argumen "ada dua kajian berbeda" ini secara langsung menyerang fondasi tudingan spesifik tersebut. Hotman seolah berkata, "Tudinganmu salah alamat. Masalahnya bukan mengubah, masalahnya mungkin ada di proses pemilihan dari dua kajian yang sudah ada."
Ini adalah strategi pembelaan yang cerdik. Alih-alih membantah adanya masalah dalam pengadaan secara keseluruhan (yang mungkin sulit dilakukan mengingat besarnya nilai dan potensi celah), Hotman fokus membantah satu tudingan spesifik yang dianggapnya sebagai "basic-nya" atau dasar dari unsur melawan hukum yang dituduhkan, yaitu tindakan mengubah kajian. Jika tudingan inti ini bisa dipatahkan dengan bukti adanya dua kajian berbeda, maka fondasi kasusnya bisa goyah, setidaknya untuk aspek manipulasi kajian.
Spesifikasi Chromebook dan Relevansinya dengan Tudingan
Mengapa spesifikasi Chromebook begitu sentral dalam isu ini? Karena tudingannya spesifik mengarah pada pemilihan spesifikasi OS ini. Ada dugaan bahwa proses kajian dan pengadaan "diarahkan" agar yang terpilih adalah perangkat berbasis Chrome OS. Tentu ada berbagai alasan mengapa spesifikasi ini bisa dianggap cocok atau tidak cocok untuk kebutuhan pendidikan di Indonesia.
Dari sisi pendukung Chromebook untuk pendidikan, argumennya seringkali meliputi: biaya total kepemilikan yang rendah (harga perangkat lebih terjangkau, lisensi software gratis melalui Google Workspace for Education), kemudahan manajemen bagi administrator sekolah, fokus pada keamanan data di cloud, dan ekosistem aplikasi pendidikan yang terus berkembang di platform Google. Untuk deployment massal di sekolah-sekolah dengan sumber daya terbatas, ini bisa jadi pilihan yang menarik.
Namun, di sisi lain, ada juga kritik terhadap penggunaan Chromebook secara massal di Indonesia. Ketergantungan pada koneksi internet yang stabil menjadi masalah di banyak daerah pelosok. Fungsionalitas offline yang terbatas bisa menghambat proses belajar jika tidak ada internet. Fleksibilitas untuk menginstal berbagai jenis software (dibandingkan Windows) juga lebih terbatas, yang mungkin diperlukan untuk mata pelajaran tertentu seperti desain grafis, pemrograman, atau software khusus lainnya. Ada juga pertanyaan tentang spesifikasi hardware minimum yang diperlukan untuk menjalankan Chrome OS dengan lancar dan mendukung aplikasi pendidikan modern.
Tudingan bahwa kajian diubah untuk memenangkan Chromebook menyiratkan bahwa mungkin ada spesifikasi lain yang sebenarnya lebih cocok, atau setidaknya sama cocoknya dengan harga yang lebih kompetitif, namun disingkirkan demi spesifikasi ini. Atau bahwa proses pemilihan tidak didasarkan sepenuhnya pada kebutuhan objektif dan analisis mendalam, melainkan ada dorongan dari pihak tertentu untuk memilih Chromebook. Dengan membantah Nadiem mengubah kajian, Hotman Paris berusaha mengatakan bahwa pemilihan spesifikasi (yang mengarah pada Chromebook, seperti yang terjadi dalam pengadaan itu) bukanlah hasil dari manipulasi kajian tunggal, melainkan mungkin hasil dari pertimbangan berdasarkan (salah satu dari) dua kajian yang berbeda yang memang sudah ada.
Konferensi Pers di Jakarta Selatan: Panggung Pembelaan Publik
Lokasi dan waktu konferensi pers ini juga penting untuk dicatat. Digelar di kawasan Jakarta Selatan, yang sering menjadi lokasi strategis untuk menyampaikan pernyataan publik oleh tokoh-tokoh nasional. Kehadiran Nadiem Makarim secara langsung mendampingi Hotman Paris menunjukkan keseriusan mereka dalam menghadapi tudingan ini. Ini bukan sekadar pernyataan tertulis atau diwakilkan oleh staf. Nadiem sendiri hadir, mendengarkan pembelaan yang disampaikan pengacaranya, dan tentu saja, siap menghadapi pertanyaan dari awak media (meskipun laporan yang diberikan hanya mencakup pernyataan Hotman).
Kehadiran Nadiem di samping Hotman Paris juga memberikan sinyal kepada publik dan pihak berwenang bahwa ia tidak menghindar dari isu ini. Ia tampil di depan, bersama kuasa hukumnya, untuk memberikan penjelasan. Ini adalah bagian dari strategi komunikasi untuk membangun kepercayaan dan menunjukkan kooperatif.
Nadiem Siap Bersaksi: Sinyal Kooperatif di Tengah Proses Hukum?
Poin lain yang disebutkan dalam konteks ini, dan ini juga relevan dengan sikap mereka, adalah kesiapan Nadiem untuk memberikan keterangan terkait dugaan korupsi pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun di Kemendikbudristek. Informasi ini, yang muncul sebagai catatan "Baca juga" dalam berita asli, menunjukkan bahwa mereka tidak hanya melakukan pembelaan publik, tetapi juga siap mengikuti proses hukum formal.
Kesiapan untuk bersaksi atau memberikan keterangan kepada pihak berwenang (apakah itu Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK, atau lembaga penegak hukum lainnya yang mungkin menangani kasus ini) adalah langkah yang standar bagi seseorang yang sedang menghadapi tudingan atau penyelidikan. Ini menunjukkan sikap kooperatif dan kesediaan untuk menjelaskan duduk perkara dari versinya. Dalam konteks dugaan korupsi, memberikan keterangan seringkali menjadi momen krusial bagi seseorang untuk menyampaikan alibi, menjelaskan proses pengambilan keputusan, atau membantah tudingan yang diarahkan kepadanya.
Jadi, gabungan antara pembelaan publik yang tegas oleh Hotman Paris (yang spesifik membantah tudingan mengubah kajian) dan kesiapan Nadiem Makarim untuk bersaksi memberikan gambaran bahwa pihak Nadiem sedang mengambil langkah-langkah proaktif untuk menghadapi isu ini. Mereka tidak diam. Mereka berbicara, dan mereka siap untuk diperiksa.
Menilik Lebih Dalam: Apa Arti Dua Kajian Berbeda dalam Praktik Pengadaan?
Mari kita coba berandai-andai sejenak, hanya untuk memahami implikasi dari pernyataan Hotman tentang "dua kajian berbeda", tentu saja tanpa menambah fakta baru yang tidak ada di sumber. Dalam praktik pengadaan barang/jasa pemerintah, tidak jarang sebuah kebutuhan dianalisis dari berbagai sudut pandang atau oleh tim yang berbeda. Misalnya, satu tim bisa melakukan kajian kebutuhan teknis (spesifikasi minimal, performa), sementara tim lain melakukan kajian pasar (ketersediaan vendor, harga wajar, biaya operasional). Bisa juga, ada kajian perbandingan antara beberapa alternatif teknologi (misalnya, Windows vs. Chrome OS vs. solusi tablet).
Adanya dua kajian berbeda bisa disebabkan oleh berbagai hal:
1. Perbedaan Fokus: Kajian pertama fokus pada satu aspek (misalnya, kebutuhan fungsional minimal), kajian kedua fokus pada aspek lain (misalnya, efisiensi biaya dan kemudahan manajemen massal).
2. Perbedaan Waktu: Kajian pertama dilakukan di tahap awal perencanaan, kajian kedua dilakukan belakangan untuk mempertimbangkan perkembangan teknologi atau kondisi pasar terbaru di tengah pandemi.
3. Perbedaan Metodologi: Dua tim yang berbeda menggunakan pendekatan analisis yang berbeda.
4. Mandat Berbeda: Masing-masing kajian diminta untuk mengeksplorasi opsi atau skenario yang berbeda.
Jika memang ada dua kajian yang berbeda, misalnya Kajian A dan Kajian B, dan Kajian B lebih mendukung pemilihan spesifikasi yang pada akhirnya diambil (misalnya, spesifikasi yang memungkinkan penggunaan Chromebook), maka keputusan untuk mendasarkan pengadaan pada Kajian B (atau aspek-aspek dari Kajian B) bukanlah tindakan mengubah Kajian A. Itu adalah tindakan memilih dasar kajian yang dianggap paling relevan atau paling sesuai dengan prioritas saat itu.
Namun, meskipun tindakan memilih satu kajian dari dua yang berbeda mungkin bukan "mengubah", proses pemilihan itu sendiri tetap bisa menjadi objek pertanyaan dan audit. Mengapa Kajian B yang dipilih, bukan Kajian A? Apakah ada alasan profesional dan objektif di baliknya? Apakah Kajian A dan B sama-sama valid dan komprehensif? Apakah ada intervensi dalam proses pemilihan kajian yang dijadikan dasar, meskipun tidak ada intervensi dalam isi kajian itu sendiri?
Inilah kompleksitasnya. Dengan Hotman Paris bersikeras pada "dua kajian yang berbeda", ia berhasil mengalihkan fokus dari tudingan spesifik "mengubah kajian". Sekarang, bola panasnya mungkin bergulir ke arah pertanyaan: "Mengapa dua kajian itu berbeda?" dan "Mengapa salah satu kajian (atau kombinasi darinya) yang dipilih?"
Namun, perlu diingat, Hotman Paris hanya menyampaikan bahwa ada dua kajian berbeda, dan ini menggugurkan tudingan Nadiem mengubah kajian. Ia tidak merinci isi kedua kajian itu, perbedaan persisnya, atau mengapa kajian yang mengarah pada spesifikasi tertentu (yang relevan dengan Chromebook) akhirnya dipilih. Detail-detail tersebut mungkin baru akan terungkap jika kasus ini terus bergulir ke tahap penyelidikan yang lebih dalam dan Nadiem benar-benar memberikan kesaksian.
Menjaga Kepercayaan Publik: Transparansi adalah Kunci
Kasus dugaan korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, apalagi yang nilainya triliunan rupiah dan terkait dengan kebutuhan mendasar seperti pendidikan di masa krisis, selalu menjadi perhatian serius publik. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara sangat bergantung pada bagaimana isu-isu semacam ini ditangani.
Pembelaan oleh Hotman Paris yang menekankan adanya "dua kajian berbeda" adalah langkah awal dalam menjawab tudingan spesifik. Ini adalah cara untuk membangun narasi tandingan terhadap tudingan yang sudah beredar luas. Kehadiran Nadiem Makarim dan kesiapannya untuk bersaksi juga menunjukkan bahwa ia memilih jalur kooperatif dalam menghadapi proses hukum.
Namun, untuk sepenuhnya mengembalikan kepercayaan publik dan meluruskan isu ini, mungkin dibutuhkan lebih dari sekadar sanggahan awal. Transparansi penuh mengenai proses pengadaan, termasuk detail mengenai kajian-kajian yang dilakukan (berapa jumlahnya, siapa yang melakukan, apa hasilnya), alasan pemilihan spesifikasi tertentu, dan bagaimana anggaran yang besar itu dikelola, akan sangat penting. Publik berhak tahu apakah uang triliunan yang dialokasikan itu benar-benar digunakan secara efektif, efisien, dan bebas dari praktik KKN.
Pernyataan Hotman Paris tentang "dua kajian berbeda" ini hanyalah satu keping dari puzzle besar kasus dugaan korupsi pengadaan laptop ini. Ini adalah respons terhadap satu tudingan spesifik. Masih ada banyak aspek lain yang mungkin akan diperiksa oleh pihak berwenang, mulai dari proses perencanaan anggaran, penentuan harga perkiraan sendiri (HPS), proses tender, hingga pelaksanaan distribusi barangnya.
Apa yang disampaikan Hotman Paris dan Nadiem Makarim dalam konferensi pers itu adalah sinyal kuat bahwa mereka punya versi cerita yang berbeda dari tudingan yang beredar. Versi yang menekankan bahwa tidak ada manipulasi kajian tunggal, melainkan adanya dua kajian yang menjadi dasar pertimbangan. Bagaimana versi ini akan diterima oleh publik dan, yang paling penting, oleh pihak penegak hukum, masih harus kita tunggu perkembangannya. Yang jelas, ini adalah sebuah cerita yang masih panjang untuk diikuti. Tetaplah kritis, tetaplah mencari informasi dari berbagai sumber yang terpercaya, dan mari kita awasi bersama bagaimana isu penting ini diselesaikan demi kebaikan pendidikan anak-anak kita dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara.
```
Komentar
Posting Komentar