Langsung ke konten utama

Grab Pamer Angka Hijau Fantastis, tapi Cukupkah untuk Menebus Dosa Asap di Jalanan?

Grab dan Parade Hijau: Antara Angka Fantastis dan Realita Emisi di Jalanan Indonesia

Baru saja kita peringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Momen penting untuk berhenti sejenak, melihat ke sekeliling, dan merenungkan kondisi planet kita. Dan di tengah momen refleksi global itu, ada raksasa teknologi yang beroperasi di sekitar kita yang unjuk gigi. Siapa lagi kalau bukan Grab.

Mereka datang dengan apa yang mereka sebut "parade hijau". Istilah ini sendiri sudah cukup memancing perhatian, bukan? Sebuah parade, biasanya penuh dengan warna, perayaan, dan hal-hal yang ingin ditampilkan. Dan parade ini, kata mereka, bernuansa hijau, nuansa lingkungan.

Mereka tidak datang dengan tangan kosong. Tidak. Mereka membawa angka-angka yang, harus diakui, bikin terpana. Ada klaim pencegahan emisi karbon hingga 30.000 ton. Ada juga klaim penghematan 11 juta liter bahan bakar minyak alias BBM. Angka-angka ini, dalam pandangan pertama, terdengar luar biasa. Sebuah pencapaian yang membuat Grab seolah ingin memposisikan diri di barisan depan para "pahlawan lingkungan". Mereka seakan berkata, "Lihat, kami juga melakukan sesuatu yang besar untuk Bumi!"

Tapi, seperti layaknya sebuah parade yang terkadang hanya menampilkan sisi terbaiknya, di balik angka-angka yang mengesankan ini, tersimpan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Sebuah pertanyaan yang kritis, bahkan mungkin menusuk. Pertanyaan itu tak terhindarkan: apakah semua upaya "hijau" ini, sebesar apa pun angkanya di atas kertas, benar-benar mampu menebus "dosa" karbon yang dihasilkan dari jutaan perjalanan kendaraan bensin mereka yang masih berasap di jalanan setiap hari? Ini adalah inti dari cerita ini, sebuah kontras antara narasi yang ditampilkan dan realita yang kita lihat, hirup, dan rasakan.

Wajah Kilau "Langkah Hijau" Grab: Angka-angka yang Memancing Decak Kagum

Mari kita bedah dulu 'parade' yang mereka gelar. Angka-angka yang dipaparkan Grab memang sekilas terlihat begitu menjanjikan, begitu luar biasa. Ini bukan angka main-main, setidaknya jika dilihat secara terpisah.

Salah satu bintang utama dalam 'parade hijau' ini adalah armada GrabElectric mereka. Mereka mengklaim jumlah unitnya kini telah mencapai lebih dari 11.000. Angka 11.000 itu sendiri, untuk ukuran armada kendaraan listrik, memang patut dicatat. Ini menunjukkan adanya investasi, adanya langkah nyata untuk memperkenalkan teknologi yang lebih bersih dalam operasional mereka. Ini bukan sekadar wacana, tapi unit fisik yang beroperasi di lapangan.

Dan apa yang dilakukan oleh 11.000 lebih unit GrabElectric ini? Mereka telah menempuh jarak kumulatif yang fantastis: lebih dari 250 juta kilometer. Coba Anda renungkan angka itu. 250 juta kilometer! Itu jarak yang luar biasa jauh. Untuk memberikan gambaran, coba Anda hitung, itu berapa kali mengelilingi bumi di garis khatulistiwa yang panjangnya sekitar 40.075 kilometer? Hasilnya? Lebih dari 6.200 kali. Atau seperti yang diklaim Grab, setara dengan hampir 7.000 kali mengelilingi bumi. Bayangkan, sejauh itu kendaraan-kendaraan listrik itu melaju, tanpa mengeluarkan emisi langsung dari knalpot.

Dari jarak tempuh inilah, datang klaim pencegahan emisi karbon. Mereka mengklaim 250 juta kilometer perjalanan listrik itu telah mencegah pelepasan 30.000 ton emisi karbon ke atmosfer. 30.000 ton! Ini angka yang signifikan jika kita bicara tentang gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim. Setiap ton yang tidak dilepaskan adalah kemenangan kecil dalam perang melawan pemanasan global.

Tidak hanya emisi, mereka juga bicara soal penghematan bahan bakar. Perjalanan yang ditempuh dengan listrik, tentu saja, menggantikan perjalanan yang seharusnya menggunakan BBM. Klaimnya, 250 juta kilometer itu setara dengan penghematan 11 juta liter BBM. Bayangkan, 11 juta liter! Itu volume yang sangat besar. BBM adalah sumber energi fosil, pembakarannya menghasilkan emisi, dan harganya pun terus berfluktuasi. Menghemat 11 juta liter BBM berarti mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sekaligus berpotensi mengurangi biaya operasional.

Komitmen ini, menurut pernyataan yang mereka berikan, adalah bagian dari sebuah visi yang lebih besar. Rivana Mezaya, yang menjabat sebagai Director of Digital & Sustainability di Grab Indonesia, menjelaskan pandangan perusahaan. "Di Grab, keberlanjutan lebih dari sekadar teknologi atau infrastruktur," ujarnya. Pernyataan ini menarik. Ini menyiratkan bahwa inisiatif hijau mereka bukan hanya tentang mengganti mesin bensin dengan listrik. Ini tentang sesuatu yang lebih luas. "Kami ingin membangun sebuah ekosistem yang dapat berdampak lestari bagi alam Indonesia," tambah Rivana. Kata kuncinya di sini adalah "ekosistem" dan "lestari bagi alam Indonesia". Mereka tidak hanya bicara tentang diri mereka sendiri, tapi tentang dampak yang lebih luas terhadap lingkungan di mana mereka beroperasi. Ini sebuah narasi yang ambisius, sebuah narasi tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Tapi 'parade hijau' Grab tidak berhenti pada kendaraan listrik saja. Mereka juga memamerkan upaya lain yang menyentuh aspek lingkungan yang berbeda. Misalnya, ada program penanaman pohon mangrove. Angkanya mencapai ratusan ribu pohon. Mangrove, seperti kita tahu, adalah penjaga pantai yang efektif, penyerap karbon yang handal, dan rumah bagi berbagai jenis biota laut. Menanam ratusan ribu mangrove, di atas kertas, adalah kontribusi positif yang signifikan untuk ekosistem pesisir.

Selain itu, mereka juga terlibat dalam perlindungan ekosistem yang sangat penting dan rentan: hutan gambut. Mereka mengklaim telah melindungi 149.800 hektar hutan gambut di Kalimantan. Hutan gambut adalah penyimpan karbon raksasa. Ketika terbakar atau rusak, ia melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer. Melindungi hampir 150.000 hektar hutan gambut adalah langkah yang sangat penting, mengingat kebakaran hutan dan lahan gambut seringkali menjadi sumber emisi yang sangat besar di Indonesia.

Lalu, ada juga upaya dalam mengatasi masalah sampah plastik. Mereka menyebutkan pengumpulan 4.000 kilogram sampah plastik melalui mesin penukaran botol. Ini adalah inisiatif yang lebih spesifik, fokus pada pengelolaan sampah konsumen. 4.000 kilogram plastik, meskipun terdengar banyak, adalah titik awal dalam perjuangan melawan volume sampah plastik yang sangat besar, tapi setidaknya ini menunjukkan kesadaran dan aksi untuk memfasilitasi daur ulang atau pengumpulan.

Semua inisiatif ini, dari kendaraan listrik hingga mangrove dan plastik, adalah bagian dari program yang mereka namakan "Langkah Hijau". Nama yang menggambarkan aksi, langkah menuju keberlanjutan. Dan menariknya, program ini sebagian didanai oleh kontribusi sukarela pengguna. Ini menunjukkan bahwa Grab juga mencoba melibatkan penggunanya, mengedukasi, dan memberikan kesempatan bagi pengguna untuk berkontribusi secara finansial pada upaya lingkungan ini. Ini membangun narasi tentang tanggung jawab bersama antara perusahaan dan konsumen.

Secara keseluruhan, bagian pertama dari 'parade hijau' ini menampilkan serangkaian angka dan inisiatif yang, jika dilihat dari kacamata positif, sangat mengesankan. Ribuan unit listrik, jutaan kilometer tanpa emisi knalpot langsung, penghematan BBM yang signifikan, penanaman pohon, perlindungan hutan, hingga pengumpulan plastik. Ini adalah daftar panjang upaya yang menunjukkan bahwa Grab memang melakukan investasi dan memiliki program nyata di bidang keberlanjutan. Angka-angka ini layak dicatat, layak diapresiasi sebagai langkah-langkah ke arah yang benar. Namun, seperti yang sudah kita singgung di awal, ini baru satu sisi dari koin.

Di Balik Layar: Jutaan Kendaraan Bensin yang Tak Pernah Tidur

Nah, sekarang mari kita lihat sisi lain dari koin ini. Sisi yang mungkin tidak sehijau 'parade' yang baru saja kita lihat angkanya. Sisi ini adalah realita operasional Grab yang jauh lebih luas, yang melibatkan jutaan perjalanan setiap hari, sebagian besar masih mengandalkan teknologi yang sudah eksis puluhan tahun: mesin pembakaran internal yang menggunakan bahan bakar fosil, alias bensin atau solar.

Grab adalah platform layanan transportasi dan pengiriman barang yang sangat besar di Indonesia. Jangkauannya luas, layanannya beragam, dan penggunanya tersebar di seluruh penjuru negeri. Setiap hari, ada jutaan orang yang memesan Grab untuk bepergian, memesan makanan, atau mengirim barang. Jutaan permintaan ini diterjemahkan menjadi jutaan perjalanan yang dilakukan oleh mitra pengemudi Grab.

Sekarang, mari kita sandingkan angka 11.000 lebih unit GrabElectric yang ciamik tadi dengan total jumlah kendaraan yang berafiliasi dengan Grab dan beroperasi setiap hari di seluruh Indonesia. Berapa jumlah totalnya? Grab tidak menyebutkan angka pastinya dalam konteks rilis ini, dan kita tidak akan menambah fakta dari luar. Tapi mari kita gunakan logika sederhana. Jika 11.000 unit listrik itu mampu menempuh 250 juta kilometer dalam periode waktu tertentu, bayangkan volume total perjalanan yang dilakukan oleh *seluruh* armada Grab, yang mayoritas masih menggunakan bensin atau solar. Angka total perjalanan ini pasti jauh, jauh lebih besar dari 250 juta kilometer. Kita bicara miliaran kilometer per tahun, mungkin?

Setiap kali sebuah kendaraan bensin dinyalakan dan menempuh satu kilometer, ia mengeluarkan emisi dari knalpotnya. Emisi ini mengandung berbagai zat yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia: karbon dioksida (CO2), yang merupakan gas rumah kaca utama; karbon monoksida (CO); nitrogen oksida (NOx); partikulat (PM); dan hidrokarbon yang tidak terbakar. Semua zat ini berkontribusi pada polusi udara lokal dan pemanasan global.

Bayangkan jutaan perjalanan ini, yang dilakukan oleh ratusan ribu atau bahkan jutaan mitra pengemudi menggunakan kendaraan bensin dan solar mereka, setiap hari, dari pagi hingga malam. Setiap perjalanan, meskipun singkat, meninggalkan jejak karbon. Kumulasikan jejak-jejak kecil ini dari jutaan perjalanan, dan Anda akan mendapatkan jejak karbon yang sangat besar. Ini adalah 'mesin' utama dari bisnis Grab: menggerakkan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain. Dan 'mesin' ini, sampai saat ini, masih didominasi oleh teknologi yang mengeluarkan emisi.

Perbandingan ini menjadi semakin mencolok ketika kita melihat perbandingan jumlah unitnya. 11.000 unit listrik itu bagus, ya. Tapi berapa total unit kendaraan (motor dan mobil) yang menjadi mitra Grab dan masih menggunakan bahan bakar fosil? Angkanya pasti berkali-kali lipat dari 11.000. Mungkin 10 kali lipat? 20 kali lipat? Lebih? Setiap unit bensin itu berkontribusi pada emisi setiap kali mereka beroperasi.

Ini adalah 'dosa karbon' yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ini bukan dosa dalam artian moral, tapi 'dosa' dalam artian beban lingkungan yang ditimbulkan. Operasi bisnis yang masif, yang melibatkan pergerakan fisik dalam skala besar, secara inheren akan memiliki dampak lingkungan, terutama jika didominasi oleh teknologi berbasis fosil.

Jadi, di satu sisi kita punya 'parade hijau' dengan angka-angka yang mengkilap dari inisiatif listrik dan lingkungan lainnya. Di sisi lain, kita punya realita operasional sehari-hari yang masif, yang masih sangat bergantung pada kendaraan bensin, dan dengan demikian, menghasilkan volume emisi karbon yang signifikan. Dua narasi ini, narasi hijau dan narasi operasional, hidup berdampingan. Dan ini menciptakan sebuah ketegangan, sebuah ironi.

Ini seperti seseorang yang berdiet ketat di siang hari, tapi kemudian makan besar di malam hari. Langkah-langkah dietnya patut diacungi jempol, usahanya luar biasa. Tapi apakah upaya itu cukup untuk menyeimbangkan asupan kalori totalnya dalam sehari? Dalam konteks Grab, apakah upaya 'hijau' mereka cukup untuk menyeimbangkan 'dosa karbon' dari operasional utamanya? Ini pertanyaan yang sah untuk ditanyakan, terutama ketika sebuah perusahaan memamerkan angka-angka hijaunya.

Realita jutaan kendaraan bensin yang beroperasi di bawah bendera Grab setiap hari adalah sisi yang kurang terlihat dalam 'parade hijau' mereka, namun dampaknya terhadap lingkungan, khususnya kualitas udara di kota-kota besar dan kontribusi terhadap emisi gas rumah kaca nasional, tidak bisa dipandang remeh. Mereka adalah tulang punggung operasional, tetapi sekaligus juga sumber utama dari jejak karbon perusahaan ini.

Indonesia: Arena Perjuangan Lingkungan yang Melawan Skala Masalah yang Kolosal

Konteks di mana Grab beroperasi juga sangat penting. Grab sendiri mengakui ini dalam rilis mereka. Indonesia adalah negara yang menghadapi tantangan lingkungan yang, terus terang, masif. Masalah-masalah ini begitu besar, begitu mengakar, sehingga setiap upaya untuk mengatasinya, meskipun signifikan, terkadang terasa seperti menimba air laut dengan ember kecil.

Salah satu tantangan yang disebutkan adalah deforestasi. Hutan-hutan kita, yang seharusnya menjadi paru-paru dunia dan penyimpan karbon alami, terus berkurang luasnya. Alih fungsi lahan, kebakaran, penebangan ilegal – semua ini berkontribusi pada laju deforestasi yang mengkhawatirkan. Grab punya program menanam ratusan ribu mangrove dan melindungi ratusan ribu hektar hutan gambut. Itu langkah yang baik, sebuah kontribusi positif. Tapi ketika kita sandingkan dengan skala deforestasi yang terjadi di tingkat nasional setiap tahunnya, angka ratusan ribu hektar yang dilindungi atau ditanami itu terasa, ya, seperti setetes air di lautan yang sangat luas. Tantangan deforestasi ini begitu besar, begitu kompleks, melibatkan begitu banyak faktor, sehingga inisiatif satu perusahaan, sebesar apa pun, hanyalah salah satu bagian kecil dari solusi yang jauh lebih besar yang dibutuhkan.

Kemudian ada polusi plastik. Indonesia dikenal sebagai salah satu penyumbang sampah plastik terbesar ke laut di dunia. Sungai-sungai kita membawa sampah plastik ke pantai, dan dari sana, sampah itu merusak ekosistem laut, membahayakan biota, dan bahkan masuk kembali ke rantai makanan kita. Grab punya program pengumpulan 4.000 kilogram sampah plastik melalui mesin penukaran botol. Ini adalah inisiatif yang cerdas dan edukatif, yang mendorong pengguna untuk mendaur ulang. 4.000 kilogram itu bukan angka kecil dalam konteks pengumpulan botol perorangan. Tapi bandingkan dengan jutaan ton sampah plastik yang dihasilkan setiap tahun di seluruh Indonesia, dan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir atau, lebih buruk, di lingkungan alami. Sekali lagi, upaya ini positif, tetapi skala masalahnya jauh, jauh lebih besar dari kemampuan satu inisiatif ini untuk menyelesaikannya.

Dan yang paling relevan dengan operasional inti Grab adalah polusi udara. Kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta, seringkali memiliki kualitas udara yang buruk, bahkan berbahaya. Polusi udara ini bukan hanya masalah kenyamanan; ini masalah kesehatan publik yang serius. Polusi udara berkontribusi pada penyakit pernapasan, jantung, stroke, dan bahkan, seperti yang disebutkan dalam rilis Grab, dapat memangkas harapan hidup rata-rata warganya. Sumber utama polusi udara di perkotaan seringkali adalah emisi dari sektor transportasi.

Di sinilah letak ironi yang paling menohok. Grab, melalui 'parade hijau' mereka, ingin menunjukkan upaya mereka mengurangi emisi, terutama melalui kendaraan listrik. Tapi pada saat yang sama, operasional utama mereka yang masif, yang melibatkan jutaan perjalanan harian, masih menjadi kontributor signifikan terhadap polusi udara yang memangkas harapan hidup warga Indonesia. Mereka berusaha menjadi bagian dari solusi melalui inisiatif hijau, namun pada saat yang sama, model bisnis inti mereka, yang masih sangat bergantung pada mesin bensin, adalah bagian dari masalah yang sama.

Beroperasi di tengah arena perjuangan lingkungan yang begitu berat seperti Indonesia menempatkan perusahaan seperti Grab dalam posisi yang sulit. Mereka tidak bisa mengabaikan isu lingkungan. Tekanan dari publik, regulator, dan bahkan mitra serta pengguna mereka sendiri semakin meningkat untuk menjadi lebih bertanggung jawab. Jadi, mereka melakukan inisiatif 'hijau'. Namun, mengubah model bisnis raksasa yang sudah mapan, yang melibatkan jutaan mitra dan melayani jutaan pengguna setiap hari, dari yang dominan berbasis fosil menjadi berbasis energi bersih, itu adalah tantangan logistik, finansial, dan sosial yang luar biasa besar. Itu bukan proses yang bisa diselesaikan dalam semalam, atau bahkan dalam beberapa tahun saja.

Skala masalah lingkungan di Indonesia membuat setiap upaya positif, sekecil apa pun, memang patut diapresiasi. Menanam pohon, melindungi hutan, mengumpulkan plastik, mengenalkan kendaraan listrik – semua itu adalah langkah yang benar dan perlu. Tapi skalanya harus proporsional dengan skalanya masalah yang ingin diatasi. Dan di sinilah muncul pertanyaan kritis: apakah proporsi upaya 'hijau' Grab saat ini sudah sepadan dengan skala dampak lingkungan dari operasional mereka yang masif di Indonesia?

Pertanyaan Krusial yang Menggelitik: Apakah Cukup Untuk Menebus "Dosa" Karbon?

Ini membawa kita kembali ke pertanyaan inti yang kita ajukan di awal. Setelah melihat 'parade hijau' dengan angka-angka yang ciamik, dan setelah melihat realita operasional harian yang melibatkan jutaan perjalanan kendaraan bensin di tengah masalah lingkungan Indonesia yang masif, kita harus bertanya: apakah upaya hijau Grab ini, sekadar apa pun, benar-benar cukup untuk 'menebus' jejak karbon dari operasional utama mereka?

Mari kita pikirkan ini seperti neraca. Di satu sisi, ada 'kredit' lingkungan: 30.000 ton emisi CO2 yang dicegah dari armada listrik, 11 juta liter BBM yang dihemat, ratusan ribu mangrove ditanam, ratusan ribu hektar gambut dilindungi, 4.000 kg plastik dikumpulkan. Ini adalah sisi positif, upaya yang patut dicatat.

Di sisi lain, ada 'debit' lingkungan: emisi CO2, NOx, partikulat, dan polutan lainnya yang dihasilkan dari jutaan perjalanan yang dilakukan oleh armada bensin mereka setiap hari di seluruh Indonesia. Volume 'debit' ini, mengingat skala operasional Grab, pasti sangat besar. Pertanyaan besarnya adalah: apakah 'kredit' yang mereka hasilkan melalui inisiatif 'hijau' ini mampu menutupi atau bahkan melebihi 'debit' yang mereka ciptakan melalui operasional inti mereka yang masih didominasi bahan bakar fosil?

Tanpa akses ke data total emisi dari seluruh armada Grab (termasuk yang bensin), sulit untuk memberikan jawaban matematis yang pasti. Tapi logika sederhana dan perbandingan skala inisiatif hijau (11.000 unit listrik vs. jutaan unit bensin) dengan skala masalah lingkungan di Indonesia (jutaan ton polusi udara, jutaan ton sampah plastik, jutaan hektar deforestasi) menimbulkan keraguan yang kuat. Rasanya 'kredit' hijau yang ditampilkan, meskipun nyata, masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan 'debit' operasional harian.

Ini bukan untuk meremehkan upaya Grab. Setiap langkah menuju keberlanjutan, setiap investasi pada teknologi bersih, setiap program lingkungan, itu penting dan harus didukung. Inisiatif seperti GrabElectric, Langkah Hijau, penanaman mangrove, itu semua adalah kontribusi positif. Masalahnya bukan pada apakah inisiatif itu baik atau tidak. Masalahnya adalah pada skala dampaknya dibandingkan dengan skala masalah yang ditimbulkan oleh model bisnis inti. Apakah 'parade hijau' ini adalah inti dari transformasi besar, atau lebih merupakan 'cherry-picking', menonjolkan sisi terbaik sambil isu yang lebih besar tetap ada?

Ada istilah yang sering digunakan dalam konteks ini: 'greenwashing'. Yaitu, upaya sebuah perusahaan untuk menampilkan citra ramah lingkungan yang lebih baik dari kenyataannya, seringkali dengan menyoroti inisiatif-inisiatif kecil sambil mengabaikan dampak lingkungan yang lebih besar dari operasional utama mereka. Apakah kasus Grab ini termasuk 'greenwashing'? Sulit untuk mengatakannya dengan pasti hanya dari rilis pers ini. Mereka memang punya inisiatif nyata. Tapi pertanyaannya adalah, apakah inisiatif itu sebanding dengan dampak totalnya? Apakah 'parade hijau' ini benar-benar representasi dari seluruh 'wajah' lingkungan Grab, atau hanya sebagian kecil yang paling menarik untuk dilihat?

Ini adalah dilema yang dihadapi banyak perusahaan besar yang operasionalnya secara inheren memiliki jejak lingkungan yang signifikan. Mereka berada di bawah tekanan untuk berubah, namun perubahan fundamental pada model bisnis membutuhkan waktu, investasi besar, dan mengatasi tantangan logistik yang kompleks. Menampilkan inisiatif 'hijau' yang menarik perhatian adalah cara yang efektif untuk menunjukkan komitmen dan meredakan tekanan, sambil proses transformasi yang sebenarnya berjalan (atau mungkin belum berjalan secepat yang diharapkan).

Pertanyaan tentang apakah upaya Grab ini cukup untuk 'menebus dosa karbon' adalah pertanyaan yang harus terus kita ajukan, bukan hanya kepada Grab, tapi kepada perusahaan-perusahaan besar lainnya yang memiliki dampak lingkungan signifikan. Ini mendorong transparansi yang lebih besar, mendorong perusahaan untuk mengatasi sumber masalah utama mereka (dalam kasus Grab, dominasi kendaraan bensin), dan mendorong inovasi yang lebih radikal.

Angka 30.000 ton emisi yang dicegah itu nyata. Penghematan 11 juta liter BBM itu juga nyata. Tapi begitu juga jutaan knalpot yang berasap setiap hari di jalanan Indonesia, yang berkontribusi pada polusi udara yang kita hirup dan emisi gas rumah kaca yang memengaruhi iklim kita. Ini adalah dua sisi dari koin yang sama: operasional Grab dan dampaknya terhadap lingkungan. Dan saat ini, berdasarkan informasi yang ada, tampaknya sisi 'debit' masih jauh lebih besar daripada sisi 'kredit'.

Jadi, ketika kita melihat 'parade hijau' Grab dan angka-angka fantastis yang mereka pamerkan, mari kita apresiasi upaya mereka. Tapi mari kita juga menjaga pandangan kritis kita. Mari kita lihat gambaran besarnya. Apakah langkah-langkah ini hanya 'tetesan di lautan masalah' lingkungan Indonesia yang kolosal? Apakah ini langkah awal menuju transformasi yang nyata, atau sekadar polesan 'hijau' di atas model bisnis yang masih 'abu-abu' dalam hal emisi? Pertanyaan ini, tampaknya, masih akan menggantung di udara, sama seperti asap knalpot yang masih keluar dari jutaan kendaraan setiap harinya.

Pada akhirnya, dampak nyata dari sebuah perusahaan terhadap lingkungan harus diukur dari total jejaknya, bukan hanya dari inisiatif-inisiatif 'hijau' yang dipamerkan. Dan dalam kasus Grab, dengan jutaan perjalanan kendaraan bensin setiap hari yang menjadi tulang punggung operasionalnya, klaim sebagai 'pahlawan lingkungan' tampaknya masih harus diuji oleh realita yang lebih luas dan kompleks.

```

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Silfester Matutina Tuding Ada Bohir di Balik Desakan Pemakzulan Gibran

Berikut adalah artikel yang Anda minta, dalam gaya Anderson Cooper yang informal dan menarik, siap untuk dipublikasikan: Skandal Bohir Pemakzulan Gibran: Siapa Dalang di Balik Layar? Skandal Bohir Pemakzulan Gibran: Siapa Dalang di Balik Layar? Anda tahu, di dunia politik, seringkali ada drama yang tersaji di depan mata kita. Tapi, pernahkah Anda berpikir, apa yang sebenarnya terjadi di balik panggung? Siapa yang menarik tali, siapa yang memegang kendali? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan, mencuat dari sebuah pengakuan yang cukup mengejutkan. Ini bukan sekadar desas-desus, ini adalah tudingan serius yang dilemparkan langsung oleh salah satu tokoh di barisan pendukung capres-cawapres yang baru saja memenangkan kontestasi, Bapak Silfester Matutina. Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), baru-baru ini membuat pernyataan yang bisa dibilang mengguncang jagat politik...

KIKO Season 4 Episode THE CURATORS Bawa Petualangan Baru Kota Asri Masa Depan

JAKARTA - Menemani minggu pagi yang seru bersama keluarga, serial animasi KIKO Season Terbaru hadir di RCTI dengan membawa keseruan untuk dinikmati bersama di rumah. Hingga saat ini, KIKO telah meraih lima penghargaan bergengsi di tingkat nasional dan internasional dalam kategori anak-anak dan animasi. Serial ini juga telah didubbing ke dalam empat bahasa dan tayang di 64 negara melalui berbagai platform seperti Disney XD, Netflix, Vision+, RCTI+, ZooMoo Channel, dan Roku Channel. Musim terbaru ini menghadirkan kisah yang lebih segar dan inovatif, mempertegas komitmen MNC Animation dalam industri kreatif. Ibu Liliana Tanoesoedibjo menekankan bahwa selain menyajikan hiburan yang seru, KIKO juga mengandung nilai edukasi yang penting bagi anak-anak Indonesia. Berikut sinopsis episode terbaru KIKO minggu ini. Walikota menugaskan Kiko dkk untuk menyelidiki gedung bekas Galeri Seni karena diduga telah alih fungsi menjadi salah satu markas The Rebel. Kiko, Tingting, Poli, dan Pa...

Khotbah Jumat Pertama Dzulhijjah : Keutamaan 10 Hari Awal Bulan Haji

Khotbah Jumat kali ini mengangkat tema keutamaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Dan hari ini merupakan Jumat pertama di Bulan Haji tersebut bertepatan dengan tanggal 30 Mei 2025. Berikut materi Khotbah Jumat Dzulhijjah disampaikan KH Bukhori Sail Attahiry dilansir dari website resmi Masjid Istiqlal Jakarta. Khutbah ini bisa dijadikan materi dan referensi bagi khatib maupun Dai yang hendak menyampaikan khotbah Jumat. Allah subhanahu wata'ala memberikan keutamaan pada waktu-waktu agung. Di antara waktu agung yang diberikan keutamaan oleh Allah adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah . Keutamaan tersebut memberikan kesempatan kepada umat Islam agar memanfaatkannya untuk berlomba mendapatkan kebaikan, baik di dunia maupun di Akhirat. Hal ini dijelaskan melalui Hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berikut: Artinya: "Dari Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baiknya hari dunia adalah sepuluh...