Waduh, ada kabar yang lagi bikin heboh nih di jagat maya dan dunia perpolitikan kita. Ini soal ijazah. Iya, ijazah yang biasa kita pegang setelah lulus kuliah. Nah, kali ini yang jadi sorotan bukan ijazah sembarang, tapi ijazah sarjana Presiden kita, Bapak Joko Widodo, dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada atau UGM.
Begini ceritanya. Ada sosok yang nggak asing lagi di telinga kita kalau ngomongin soal teknologi, multimedia, atau hal-hal yang berhubungan sama itu. Beliau adalah Pakar Telematika Roy Suryo. Nah, beliau ini muncul dengan pernyataan yang cukup berani dan langsung menarik perhatian banyak orang.
Menurut analisis beliau, yang disampaikan di salah satu program televisi, ada sesuatu yang dianggap "ganjil" pada ijazah sarjana Presiden Jokowi itu. Keganjilan ini beliau ungkap setelah melakukan perbandingan. Perbandingan dengan apa? Dengan ijazah-ijazah lain yang menurut beliau, berasal dari angkatan atau periode yang sama, atau setidaknya punya karakteristik yang identik.
Pernyataan ini, yang cukup blak-blakan dan menggunakan istilah teknis perbandingan, disampaikan Roy Suryo dalam sebuah program yang tayang di iNews. Nama programnya "Rakyat Bersuara," dan edisi yang membahas soal ini tayang pada hari Selasa, tanggal 3 Juni 2025. Tanggal ini penting lho, karena ini momen ketika Roy Suryo membongkar analisisnya secara publik.
Jadi, poin utama dari apa yang disampaikan Roy Suryo itu adalah dia menyimpulkan bahwa ijazah yang disebut sebagai ijazah sarjana Presiden Jokowi ini, menurut analisisnya, 99,9 persen, nyaris sempurna, tidak identik dengan ijazah-ijazah lain yang dia gunakan sebagai pembanding.
Nah, kita kan pasti penasaran, ijazah pembandingnya seperti apa sih? Roy Suryo nggak cuma ngomong doang soal perbandingan, beliau juga menunjukkan dokumen-dokumennya. Ada tiga dokumen ijazah yang beliau tampilkan dan gunakan sebagai acuan pembanding dalam analisisnya itu.
Ijazah pertama yang beliau jadikan pembanding adalah ijazah dengan nomor 1115. Pemiliknya bernama Sri Murtiningsih. Ijazah kedua bernomor 1116, milik Hari Mulyono. Dan ijazah ketiga, bernomor 1117, milik Frono Jiwo. Tiga ijazah ini, berurutan nomornya, 1115, 1116, 1117. Ini penting, karena nomor urut ijazah seringkali menunjukkan bahwa ijazah-ijazah tersebut dicetak atau diterbitkan dalam satu periode atau batch yang berdekatan.
Roy Suryo menjelaskan di program "Rakyat Bersuara" itu, kepada Mas Aiman (host program tersebut) dan juga seluruh pemirsa yang menyaksikan, bahwa ketiga ijazah inilah yang dia sebut sebagai ijazah yang "identik". Beliau menekankan kata "identik" ini. Identik satu sama lain. Kenapa identik? Nah, di sinilah Roy Suryo mulai masuk ke detail analisis visualnya.
Roy Suryo Angkat Bicara: Soal Ijazah Jokowi dan Perbandingan Detail
Untuk menjelaskan kenapa ijazah Sri Murtiningsih, Hari Mulyono, dan Frono Jiwo ini identik, Roy Suryo mengajak kita, atau setidaknya pemirsa program itu, untuk memperhatikan detail-detail kecil pada dokumen ijazah tersebut. Beliau menyebutkan beberapa poin krusial. Salah satunya adalah penempatan atau posisi huruf 'Z' pada kata 'ijazah'. Di ketiga ijazah pembanding itu, posisi huruf 'Z'-nya, menurut beliau, masuk pada bagian yang sama, pada area yang konsisten di setiap dokumen.
Selain huruf 'Z', Roy Suryo juga menyorot huruf 'A' pada kata 'sarjana'. Sama seperti huruf 'Z', posisi huruf 'A' ini juga masuk ke dalam area logo UGM yang tercetak di ijazah. Dan penempatan ini, lagi-lagi menurut pengamatan beliau, konsisten di ketiga ijazah pembanding itu. Jadi, ketika Roy Suryo mengatakan ketiga ijazah itu "identik", yang dia maksud adalah, secara visual, elemen-elemen penting seperti huruf 'Z' pada 'ijazah' dan huruf 'A' pada 'sarjana' itu punya posisi dan karakteristik cetak yang sama, masuk ke area logo UGM dengan cara yang sama di ketiga dokumen itu. Ini, dalam kacamata Roy Suryo, adalah ciri dari ijazah-ijazah yang sah dan berasal dari sumber atau proses cetak yang sama.
Setelah menunjukkan dan menjelaskan karakteristik ijazah-ijazah pembanding yang menurut beliau identik itu, barulah Roy Suryo mengarahkan perhatian ke ijazah yang disebut sebagai ijazah Presiden Jokowi. Ijazah ini, kata Roy Suryo, adalah ijazah yang ditampilkan atau ditunjukkan ke publik saat konferensi pers yang digelar oleh Dittipidum Bareskrim Polri. Konferensi pers itu dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 2025. Jadi, ada dua tanggal penting di sini: 22 Mei 2025 ketika ijazah itu ditunjukkan oleh Bareskrim, dan 3 Juni 2025 ketika Roy Suryo menganalisis dan membandingkannya di program iNews.
Nah, di sinilah inti dari keganjilan yang diungkap Roy Suryo. Beliau mulai membandingkan ijazah yang ditunjukkan Bareskrim itu dengan tiga ijazah pembanding yang tadi sudah dijelaskan. Dan beliau menemukan keganjilan-keganjilan tersebut. Salah satu keganjilan utama yang beliau sorot, dan dijelaskan dengan detail, adalah soal font atau jenis huruf pada kata 'ijazah', khususnya pada huruf 'Z'.
Membandingkan Ijazah Ala Roy Suryo: Detail Huruf dan Logo
Roy Suryo meminta perhatian penuh dari pemirsa dan Mas Aiman. "Lihat baik-baik huruf 'Z'-nya," kata beliau, mengarahkan perhatian pada visual ijazah yang ditampilkan di layar program tersebut. Beliau kemudian membandingkan huruf 'Z' yang ada di ijazah yang ditunjukkan Bareskrim dengan huruf 'Z' di ijazah-ijazah pembanding yang tadi. "Apakah terdapat perbedaan huruf 'Z' di atas (ijazah pembanding) dengan 'Z' di bawah (ijazah yang ditunjukkan Bareskrim)?" tanyanya retoris.
Menurut analisis mata elangnya, mata yang sudah terlatih untuk melihat detail-detail visual dan teknis, seperti mata yang dimiliki oleh orang-orang di dunia percetakan, perbedaan itu langsung terlihat. "Kalau mata elang, mata percetakan, pasti langsung beda," tegas Roy Suryo. Beliau menyebutkan bahwa font huruf 'Z'-nya saja sudah sedikit berbeda. Sedikit berbeda, tapi bagi mata yang jeli, mata yang terlatih di bidang ini, perbedaan itu sangat kentara dan signifikan.
Perbedaan itu bukan cuma soal bentuk font huruf 'Z' saja. Roy Suryo juga menyorot penempatan atau posisi huruf 'Z' itu terhadap logo UGM yang ada di dokumen ijazah. Ingat, di ijazah pembanding, posisi huruf 'Z' ini konsisten masuk ke bagian yang sama di logo UGM. Nah, di ijazah yang ditunjukkan Bareskrim, penempatan huruf 'Z' itu, menurut Roy Suryo, juga berbeda. "Dan masuknya ke logo, itu pun berbeda," jelas beliau, menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan dalam bagaimana huruf 'Z' ini berinteraksi secara spasial dengan elemen grafis lain, yaitu logo universitas.
Jadi, ada dua poin spesifik terkait huruf 'Z' yang disorot Roy Suryo sebagai bukti keganjilan: pertama, font atau jenis huruf 'Z' itu sendiri yang disebutnya sedikit berbeda; kedua, posisi atau penempatan huruf 'Z' itu relatif terhadap logo UGM yang disebutnya berbeda dibandingkan dengan ijazah-ijazah pembanding yang identik.
Analisis detail seperti ini, yang berfokus pada bentuk font dan penempatan elemen grafis, memang sering digunakan dalam forensik dokumen untuk menentukan keaslian atau apakah sebuah dokumen berasal dari sumber yang sama dengan dokumen pembanding.
Keganjilan ini, menurut Roy Suryo, mengarah pada kesimpulan yang tadi sudah disebutkan di awal: bahwa ijazah yang ditunjukkan Bareskrim itu, yang disebut sebagai ijazah sarjana Presiden Jokowi, 99,9 persen tidak identik dengan ijazah-ijazah pembanding bernomor 1115 (Sri Murtiningsih), 1116 (Hari Mulyono), dan 1117 (Frono Jiwo). Angka 99,9 persen itu bukan angka asal, itu adalah hasil analisis beliau yang sangat spesifik, menunjukkan betapa kecilnya kemungkinan, menurut beliau, ijazah itu memiliki karakteristik cetak yang sama persis dengan ijazah-ijazah pembanding yang dianggapnya sah dan identik.
Kita bisa bayangkan suasana di studio iNews saat itu. Roy Suryo, dengan gayanya yang analitis, memaparkan temuan-temuannya sambil sesekali menunjuk ke layar atau dokumen yang ditampilkan. Beliau menjelaskan ini bukan soal sepele, ini soal detail yang krusial dalam verifikasi dokumen.
Mengapa Perbandingan Ini Penting? Konteks Analisis Dokumen
Mengapa perbandingan detail huruf 'Z' dan 'A' serta posisinya terhadap logo UGM ini dianggap penting oleh Roy Suryo? Dalam analisis dokumen, terutama dokumen resmi seperti ijazah, proses pencetakan dan formatnya biasanya mengikuti standar yang ketat untuk setiap periode penerbitan. Ini untuk memastikan keaslian dan konsistensi. Jika ada ijazah yang berasal dari periode yang sama namun menunjukkan perbedaan signifikan pada elemen-elemen dasar seperti font, ukuran, atau penempatan elemen grafis (seperti logo) relatif terhadap teks, hal itu bisa menjadi indikasi adanya ketidakberesan.
Roy Suryo, dengan latar belakangnya sebagai pakar telematika yang sering berurusan dengan analisis forensik digital dan visual, menggunakan prinsip yang mirip. Beliau melihat ijazah-ijazah pembanding bernomor 1115, 1116, dan 1117 sebagai "sampel" dari ijazah UGM pada periode tertentu yang menurut beliau "identik". Identik dalam artian, konsisten dalam detail cetakannya. Kemudian, beliau membandingkan ijazah yang ditunjukkan Bareskrim dengan sampel yang konsisten ini.
Ketika beliau menemukan perbedaan pada font huruf 'Z' dan penempatannya terhadap logo, serta penempatan huruf 'A' terhadap logo (meskipun di kutipan teks yang diberikan hanya detail 'Z' yang dijelaskan panjang lebar, beliau juga menyebut 'A'), perbedaan itu menjadi dasar kesimpulan 99,9 persen tidak identik. Ini bukan sekadar beda warna atau beda ukuran kertas, ini soal karakteristik cetak yang lebih fundamental.
Analisis seperti ini menuntut ketelitian yang luar biasa. Seseorang harus benar-benar jeli dan memahami bagaimana dokumen-dokumen resmi dicetak pada era tertentu. Peralatan cetak, jenis font yang digunakan, tata letak, semuanya bisa menjadi penanda keaslian dan keabsahan. Roy Suryo mengklaim, dengan "mata elang" dan "mata percetakan" yang dimilikinya, perbedaan-perbedaan itu sangat jelas terlihat baginya.
Penting untuk diingat, analisis Roy Suryo ini berfokus pada karakteristik visual dokumen yang diperbandingkan. Beliau tidak membahas hal lain di luar perbandingan visual yang dia lakukan. Poinnya murni pada perbedaan detail cetak antara ijazah yang ditunjukkan Bareskrim dan ijazah-ijazah pembanding yang dia anggap identik.
Konteks Kejadian: Bareskrim, iNews, dan Perdebatan Publik
Pembahasan soal ijazah Presiden Jokowi ini memang sudah menjadi polemik di ruang publik selama beberapa waktu. Konteks munculnya analisis Roy Suryo ini tidak bisa dilepaskan dari hal itu. Sebelumnya, pihak Dittipidum Bareskrim Polri memang pernah menggelar konferensi pers pada tanggal 22 Mei 2025, di mana dalam kesempatan itu, dokumen yang disebut sebagai ijazah sarjana Presiden Jokowi dari UGM itu ditunjukkan kepada publik. Tujuannya saat itu tentu untuk merespons isu atau keraguan yang muncul di masyarakat.
Nah, dokumen yang ditunjukkan Bareskrim itulah yang kemudian dijadikan objek perbandingan oleh Roy Suryo. Beliau mendapatkan visual dari dokumen tersebut (kemungkinan dari liputan pers atau sumber lainnya) dan kemudian membandingkannya dengan ijazah-ijazah lain dari UGM yang beliau miliki aksesnya atau berhasil peroleh, yaitu ijazah bernomor 1115, 1116, dan 1117.
Panggung yang dipilih Roy Suryo untuk menyampaikan analisisnya pun cukup strategis, yaitu program "Rakyat Bersuara" di iNews pada tanggal 3 Juni 2025. Program ini memang dikenal sering membahas isu-isu publik yang sedang hangat dan kontroversial, memberikan ruang bagi berbagai pihak untuk menyampaikan pandangannya.
Dalam program tersebut, Roy Suryo tidak hanya sekadar bicara. Beliau menunjukkan bukti visual. Menampilkan gambar ijazah-ijazah pembanding itu, lalu menampilkan gambar ijazah yang ditunjukkan Bareskrim, dan secara langsung membandingkan detail-detail krusial yang tadi sudah dijelaskan: huruf 'Z' pada 'ijazah', huruf 'A' pada 'sarjana', dan bagaimana keduanya masuk ke dalam area logo UGM.
Beliau menjelaskan, dengan menunjuk pada visual di layar, bahwa di ijazah-ijazah pembanding (milik Sri Murtiningsih, Hari Mulyono, Frono Jiwo), huruf 'Z' dan 'A' itu posisinya konsisten, masuk ke logo UGM dengan cara yang sama. Lalu, beliau mengalihkan perhatian ke ijazah yang ditunjukkan Bareskrim, dan menunjukkan bahwa di ijazah itu, posisi dan bahkan font huruf 'Z'-nya berbeda. Perbedaan posisi huruf 'A' terhadap logo UGM juga disorot.
Analisis ini, yang disampaikan dengan penuh keyakinan dan menggunakan argumen berbasis perbandingan visual yang detail, langsung memantik diskusi baru di tengah polemik ijazah yang sudah ada. Kesimpulan 99,9 persen tidak identik itu menjadi poin utama yang banyak dikutip.
Penting untuk digarisbawahi lagi, analisis ini sepenuhnya didasarkan pada perbandingan visual yang dilakukan oleh Roy Suryo terhadap dokumen-dokumen yang dia peroleh atau lihat. Beliau tidak merujuk pada sumber lain atau fakta-fakta di luar perbandingan visual tersebut dalam penyampaian analisis ini di program iNews.
Argumennya kuat pada detail visual. Bagi Roy Suryo, jika tiga ijazah dengan nomor berurutan saja menunjukkan konsistensi yang luar biasa dalam detail cetak (yang ia sebut identik), maka sebuah ijazah lain dari universitas dan periode yang sama (menurut klaim yang ada) seharusnya menunjukkan tingkat konsistensi yang serupa pada elemen-elemen kunci. Ketika konsistensi itu tidak ditemukan, atau ada perbedaan signifikan pada detail yang mestinya konsisten, itu menjadi dasar keganjilan menurut analisisnya.
Perdebatan seputar ijazah ini memang kompleks, melibatkan berbagai pihak dan sudut pandang. Analisis Roy Suryo ini menambahkan satu lapisan lagi dalam perdebatan tersebut, dengan fokus pada aspek teknis perbandingan dokumen. Beliau membawa argumen yang berbasis pada apa yang disebutnya sebagai bukti visual yang bisa dilihat dan diperbandingkan.
Kesimpulan 99,9 persen tidak identik itu, bagi Roy Suryo, adalah hasil dari ketidaksesuaian yang dia temukan pada detail-detail mikroskopis dokumen. Ini bukan soal ijazahnya ada atau tidak ada, tapi soal apakah karakteristik cetak ijazah yang ditunjukkan itu identik dengan ijazah-ijazah lain yang dianggap otentik dari universitas dan periode yang sama.
Diskusi yang muncul setelah Roy Suryo menyampaikan analisisnya ini pun beragam. Ada yang mendukung pandangannya, menganggap analisisnya masuk akal mengingat pengalamannya sebagai pakar telematika. Ada juga yang mungkin mempertanyakan metodologinya atau validitas ijazah pembanding yang digunakannya. Namun, apa pun reaksinya, tidak bisa dipungkiri bahwa paparan Roy Suryo ini telah memberikan perspektif yang detail, yang berfokus pada aspek teknis dokumen, dalam polemik ijazah Presiden Jokowi.
Beliau sendiri dalam program itu tampak yakin dengan analisisnya. Menggunakan istilah "mata elang" dan "mata percetakan" untuk menggambarkan ketelitiannya dalam melihat detail-detail itu menunjukkan betapa seriusnya beliau dalam melakukan perbandingan ini. Bagi beliau, perbedaan yang ditemukan pada font 'Z' dan penempatannya terhadap logo UGM, serta penempatan huruf 'A' terhadap logo, adalah indikasi kuat adanya ketidaksesuaian yang signifikan.
Ijazah-ijazah pembanding yang digunakan, yaitu milik Sri Murtiningsih (1115), Hari Mulyono (1116), dan Frono Jiwo (1117), berperan krusial dalam analisis ini. Mereka menjadi standar "identik" versi Roy Suryo. Jika ijazah-ijazah dengan nomor urut berdekatan itu menunjukkan konsistensi, seharusnya ijazah lain dari periode yang sama juga menunjukkan konsistensi serupa pada elemen-elemen kunci. Ketika ijazah yang ditunjukkan Bareskrim tidak sesuai dengan standar konsistensi ini (dalam pandangan Roy Suryo), itulah yang memunculkan kesimpulan 99,9 persen tidak identik.
Jadi, begitulah kira-kira gambaran dari apa yang disampaikan Roy Suryo di program Rakyat Bersuara iNews tanggal 3 Juni 2025 lalu. Beliau mengungkap apa yang dianggapnya sebagai keganjilan pada ijazah sarjana Presiden Jokowi dari UGM berdasarkan perbandingan visual yang detail dengan tiga ijazah pembanding. Fokus analisisnya ada pada font dan penempatan huruf 'Z' pada 'ijazah' dan 'A' pada 'sarjana' relatif terhadap logo UGM. Dan kesimpulan analisis visualnya itu mengarah pada angka 99,9 persen tidak identik.
Peristiwa ini menjadi catatan penting dalam rangkaian polemik ijazah yang sempat menghangat. Munculnya analisis dari seorang pakar seperti Roy Suryo dengan argumen yang berbasis pada detail visual dokumen, tentu menambah dimensi baru dalam diskusi publik. Bagi sebagian orang, analisis ini mungkin semakin menambah keraguan, sementara bagi yang lain, ini mungkin hanya salah satu pandangan dari banyak pandangan yang ada. Namun, apa pun itu, detail perbandingan yang disampaikan Roy Suryo, terutama soal huruf 'Z' dan logo UGM itu, adalah inti dari klaim keganjilan yang beliau sampaikan di panggung iNews.
Kita bisa melihat betapa pentingnya sebuah dokumen resmi seperti ijazah itu diperhatikan detailnya. Dari font huruf saja, dari penempatan elemen kecil seperti huruf 'Z' atau 'A' terhadap logo, bisa memicu analisis yang begitu mendalam dan kesimpulan yang begitu spesifik seperti yang disampaikan Roy Suryo. Ini menunjukkan bahwa di era digital pun, dokumen fisik masih menyimpan rahasia dan detail yang bisa menjadi objek perdebatan dan analisis forensik.
Diskusi ini, yang dipantik oleh Roy Suryo di program Rakyat Bersuara, memperlihatkan bagaimana isu dokumen dan keasliannya bisa menjadi perhatian publik, terutama jika melibatkan tokoh penting seperti Presiden. Dan peran pakar seperti Roy Suryo menjadi penting dalam memberikan analisis dari sudut pandang teknis, meskipun analisis tersebut kemudian bisa saja diperdebatkan atau dikonfirmasi oleh pihak lain.
Intinya, klaim utama Roy Suryo adalah ijazah yang ditunjukkan Bareskrim pada 22 Mei 2025 itu, saat dilihat detailnya dan dibandingkan dengan tiga ijazah UGM lainnya (1115, 1116, 1117) yang dia anggap identik, menunjukkan perbedaan signifikan. Perbedaan 99,9 persen tidak identik itu, menurut beliau, terletak pada detail cetak seperti font huruf 'Z' dan penempatannya terhadap logo, serta penempatan huruf 'A' terhadap logo. Analisis ini disampaikan di iNews pada 3 Juni 2025.
Ini adalah potret dari sebuah analisis teknis yang masuk ke ruang publik, memicu diskusi, dan menambah dimensi baru dalam polemik yang sudah ada. Roy Suryo, dengan pengalamannya di bidang telematika, membawa sudut pandang yang berbeda, fokus pada bukti visual yang tersaji pada dokumen itu sendiri. Dan bagi beliau, bukti visual itu, ketika diperbandingkan dengan cermat, menunjukkan adanya "keganjilan" pada ijazah yang jadi sorotan tersebut.
Debat tentang ijazah ini mungkin belum berakhir, tapi analisis Roy Suryo dengan angka 99,9 persen tidak identik dan detail soal huruf 'Z' dan logo UGM ini pasti akan menjadi salah satu bagian penting yang dicatat dalam perjalanan polemik ini. Ini menunjukkan betapa sebuah isu, bahkan yang terkait dokumen fisik, bisa dianalisis dari berbagai sudut pandang, termasuk sudut pandang pakar telematika yang jeli melihat detail.
Jadi, sambil menunggu perkembangan lebih lanjut atau tanggapan dari pihak-pihak terkait, kita bisa melihat bahwa klaim Roy Suryo ini berakar pada perbandingan visual yang sangat spesifik, yang menurutnya, mengungkap ketidakidentikan hampir mutlak antara ijazah yang ditunjukkan Bareskrim dan ijazah-ijazah pembanding yang ia jadikan standar. Itulah inti dari apa yang disampaikan Roy Suryo di program "Rakyat Bersuara" iNews.
```
Komentar
Posting Komentar