Langsung ke konten utama

3 Musisi Izinkan Lagunya Dipakai Penyanyi Lain, Nomor 2 Tetap Tuntut Bayar Royalti

**Fenomena Musisi Indonesia Izinkan Lagu Dipakai: Antara Hak Cipta, Royalti, dan Kebebasan Bermusik** Industri musik Tanah Air, kita semua tahu, seringkali diwarnai dinamika yang cukup... rumit, terutama soal hak cipta. Kasus pelanggaran, sengketa royalti, semua itu seperti menjadi bagian dari cerita sehari-hari. Tapi, di tengah riuhnya persoalan tersebut, ada lho, beberapa musisi kita yang justru mengambil langkah berbeda, langkah yang mungkin terasa kontraintuitif bagi sebagian orang. Mereka, dengan sengaja dan terbuka, mengizinkan lagu-lagu ciptaan mereka untuk dibawakan, dinyanyikan, bahkan direkam ulang oleh penyanyi lain. Ya, Anda tidak salah dengar. Mereka memberi izin. Ini menarik, kan? Di satu sisi, kita mendengar keluhan soal pembajakan, soal lagu yang dipakai tanpa izin di sana-sini. Di sisi lain, ada kreator yang justru membuka pintu lebar-lebar. Keputusan para musisi ini tentu saja bukan tanpa alasan. Dan yang lebih menarik lagi, ternyata izin yang mereka berikan itu datang dengan 'syarat' yang bervariasi. Tidak semua sama. Ada yang benar-benar membebaskan, tapi ada juga yang, meskipun mengizinkan, tetap menaruh catatan penting terkait urusan 'dapur' industri musik: royalti. Langkah seperti ini, membebaskan penggunaan karya tapi dengan kondisi atau tanpa kondisi sama sekali, dilihat oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang memberi warna baru dalam diskusi yang sudah lama bergulir: bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan terhadap hak pencipta dengan kebebasan berekspresi atau kebebasan bermusik itu sendiri. Ini bukan cuma soal hukum, ini soal etika, soal filosofi berkarya, dan soal bagaimana ekosistem musik kita ini seharusnya berjalan. Siapa saja musisi-musisi ini yang berani mengambil sikap seperti itu di tengah 'badai' hak cipta? Dan apa sebenarnya yang membuat pendekatan mereka terhadap izin penggunaan lagu ini berbeda satu sama lain? Mari kita bedah lebih dalam. **Di Tengah Hiruk Pikuk Hak Cipta, Mengapa Ada Musisi yang Mengizinkan?** Kita semua paham, hak cipta itu pondasi penting dalam dunia kreatif. Itu adalah pengakuan hukum atas jerih payah seorang kreator. Tujuannya jelas: melindungi karya agar tidak sembarangan digunakan oleh pihak lain tanpa izin, dan memastikan sang pencipta mendapatkan apresiasi, termasuk dalam bentuk finansial melalui royalti, atas penggunaan karyanya. Di Indonesia, kerangka hukum untuk hak cipta ini sudah ada, dan ada lembaga-lembaga yang ditunjuk untuk mengelola hak-hak tersebut, terutama terkait penggunaan komersial. Namun, praktik di lapangan seringkali tidak semulus teori. Pelanggaran terjadi di mana-mana, mulai dari penggunaan lagu tanpa izin di tempat-tempat publik, rekaman ulang tanpa lisensi yang memadai, hingga penggunaan digital yang sulit dilacak. Ini yang membuat para pencipta lagu seringkali merasa dirugikan. Royalti yang seharusnya mereka terima, entah ke mana rimbanya. Nah, di tengah situasi yang penuh tantangan ini, muncullah fenomena beberapa musisi yang justru menyatakan, "Silakan pakai lagu saya." Ini terdengar seperti paradoks. Mengapa, saat orang lain mati-matian memperjuangkan hak mereka yang sering dilanggar, justru ada yang malah mempermudah akses ke karya mereka? Ada banyak kemungkinan di baliknya. Mungkin ini adalah bentuk keyakinan bahwa musik itu harus disebar, harus hidup melalui banyak interpretasi. Mungkin ini strategi untuk menjaga popularitas lagu agar tetap relevan. Atau, mungkin ini adalah cara untuk secara proaktif mengelola izin, bahkan dengan syarat tertentu, daripada harus repot mengejar-ngejar pelanggaran yang masif dan sulit dikendalikan. Apa pun alasannya, langkah ini patut dicatat. Ini bukan sekadar kemurahan hati, tapi juga bisa dilihat sebagai respons terhadap realitas industri musik yang terus berubah, di mana cara karya disebar dan dinikmati tidak lagi terbatas pada medium-medium konvensional. **Syarat yang Beragam: Bukan Sekadar 'Boleh', Ada 'Tapi'-nya** Fenomena musisi yang mengizinkan lagunya dipakai ini, seperti disebutkan tadi, ternyata tidak seragam. Ada variasi dalam 'syarat dan ketentuan' yang mereka berlakukan. Dan variasi ini, menurut saya, adalah inti dari diskusi ini. Ini menunjukkan bahwa 'izin' itu sendiri bisa berlapis-lapis, tidak hitam putih. Salah satu 'syarat' yang paling menonjol dan penting adalah kewajiban bagi pihak yang menggunakan lagu (khususnya untuk tujuan komersial, seperti di panggung atau rekaman yang akan dirilis) untuk membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Ini menarik. Artinya, musisi tersebut tidak melepaskan hak finansial mereka sepenuhnya. Mereka hanya mempermudah 'pintu masuk' penggunaan, tapi kanal kompensasi tetap harus ditempuh. Mengapa melalui LMK? LMK adalah lembaga yang diamanatkan oleh undang-undang untuk mengumpulkan dan mendistribusikan royalti hak cipta dan hak terkait. Untuk pencipta lagu, LMK mengelola hak cipta performa (public performance rights) dan hak cipta mekanik (mechanical rights). Ketika sebuah lagu dibawakan di konser, diputar di radio/TV, atau direkam ulang, ada potensi kewajiban royalti yang harus ditunaikan melalui LMK. Dengan mewajibkan pembayaran via LMK, musisi ini sebenarnya sedang melakukan beberapa hal sekaligus: 1. **Mengakui dan Memperkuat Sistem yang Ada:** Mereka tidak mengabaikan kerangka hukum dan kelembagaan yang mengatur royalti di Indonesia. Justru, mereka mengarahkan penggunanya untuk melewati jalur resmi. 2. **Mencoba Memastikan Royalti Tetap Sampai:** Daripada membiarkan lagu dipakai 'liar' tanpa ada catatan sama sekali, mewajibkan pembayaran via LMK adalah upaya untuk paling tidak ada potensi royalti itu terkumpul dan terdistribusi, meskipun kita tahu proses ini juga punya tantangan tersendiri. 3. **Memberikan Kejelasan Hukum:** Dengan adanya syarat yang jelas (bayar via LMK), pengguna lagu jadi tahu apa yang harus mereka lakukan agar penggunaan karya tersebut sah secara hukum dan etika, setidaknya dari sisi pembayaran royalti. Ini mengurangi 'abu-abu' dalam penggunaan karya. Jadi, bagi musisi yang menerapkan syarat ini, 'izin' itu bukan berarti 'gratis' sepenuhnya untuk semua aspek. Izin itu diberikan untuk menggunakan karyanya, membawakannya, menampilkannya, tapi aspek kompensasi finansial, terutama untuk penggunaan komersial, tetap ada dan diarahkan melalui jalur resmi LMK. Ini adalah bentuk perlindungan hak pencipta yang cerdas, memadukan keterbukaan dengan ketegasan soal hak finansial. **Melihat Lebih Dekat: Contoh Kasus dan Sikap Berbeda** Siapa saja musisi yang mengambil langkah-langkah berani ini? Artikel ini menyebutkan setidaknya satu nama besar, tokoh legenda yang pengaruhnya tak terukur dalam sejarah musik Indonesia. Ya, beliau adalah Rhoma Irama. **Rhoma Irama: Sebuah Sikap yang Mengejutkan dan Penuh Makna?** Ini dia yang mungkin paling menarik perhatian. Rhoma Irama, sang Raja Dangdut, sosok yang karya-karyanya begitu melekat di hati masyarakat, membuat pengumuman yang cukup mengejutkan. Melalui kanal YouTube resminya, beliau menyampaikan bahwa siapa pun, di seluruh dunia, di mana pun mereka berada, diizinkan untuk menyanyikan lagu-lagu ciptaannya. Dan yang paling mencengangkan? Tanpa perlu membayar royalti. Ya, Anda tidak salah baca lagi. Gratis, untuk penggunaan menyanyi. Mari kita cermati baik-baik. Pernyataan ini datang dari seorang pencipta lagu yang katalog karyanya sangat masif dan legendaris. Lagu-lagu beliau sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya populer Indonesia. Mereka dinyanyikan di mana-mana, dalam berbagai konteks. Dan kini, penciptanya sendiri yang membuka pintu seluas-luasnya, bahkan sampai ke kancah global, tanpa menarik pungutan royalti untuk aktivitas menyanyi lagu tersebut. Sikap Rhoma Irama ini kontras tajam dengan musisi lain yang, meskipun mengizinkan, masih mensyaratkan pembayaran royalti via LMK. Apa makna di balik keputusan ini? Tanpa pernyataan langsung dari beliau yang menjelaskan filosofi secara mendalam (selain pengumuman izin itu sendiri), kita hanya bisa menafsirkan dari tindakan tersebut. Mungkin, ini adalah bentuk sedekah ilmu, sedekah karya, kepada umat atau kepada sesama penikmat musik di seluruh dunia. Mengingat latar belakang beliau yang juga sangat lekat dengan pesan-pesan moral dan dakwah melalui musik, bisa jadi ini adalah cara beliau agar pesan-pesan dalam lagu-lagunya bisa tersebar lebih luas lagi, tanpa terhalang oleh urusan biaya atau birokrasi perizinan royalti. Ini juga bisa jadi pengakuan atas kenyataan bahwa lagu-lagu beliau sudah sedemikian merakyat sehingga sulit sekali untuk sepenuhnya mengontrol dan memonetisasi setiap penggunaannya dalam konteran menyanyi. Dengan memberikan izin terbuka, beliau mungkin sedang merangkul fenomena tersebut, mengubah sesuatu yang berpotensi menjadi pelanggaran massal menjadi aktivitas yang 'direstui'. Tapi perlu digarisbawahi, konteks "menyanyikan" ini juga butuh interpretasi. Apakah menyanyikan di panggung (live performance)? Apakah menyanyikan untuk direkam (mechanical)? Pernyataan "menyanyikan lagu-lagu ciptaannya" secara umum bisa mencakup keduanya, tapi detail implementasinya yang 'tanpa perlu membayar royalti' untuk penggunaan komersial dalam skala besar bisa jadi memiliki implikasi yang rumit terkait sistem LMK yang ada. Sistem LMK, seperti disebutkan sebelumnya, memang dirancang untuk mengumpulkan royalti dari penggunaan komersial seperti live performance atau rekaman. Jika penciptanya sendiri menyatakan gratis, bagaimana ini berinteraksi dengan sistem LMK? Ini pertanyaan besar yang muncul dari sikap beliau. Sikap Rhoma Irama ini tidak hanya memberi izin, tapi juga memicu perdebatan (atau setidaknya pemikiran mendalam) tentang nilai sebuah karya. Apakah nilai itu semata-mata ekonomi? Atau ada nilai lain yang lebih besar, seperti penyebaran pesan, pelestarian budaya, atau sekadar kebahagiaan melihat karya itu hidup dan dinikmati banyak orang di mana pun? Dengan memberikan izin menyanyi secara cuma-cuma untuk seluruh dunia, Rhoma Irama seolah menempatkan nilai penyebaran dan aksesibilitas karyanya di atas nilai ekonomi murni dari royalti penggunaan komersial (khusus untuk aktivitas menyanyi itu). **Membandingkan Sikap: Syarat LMK vs. Gratis Sama Sekali** Kontras antara musisi yang mensyaratkan pembayaran via LMK dan Rhoma Irama yang mengizinkan gratis untuk menyanyi sangat jelas. Keduanya sama-sama memberikan 'izin' di tengah maraknya isu hak cipta, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Musisi yang mewajibkan LMK menunjukkan komitmen untuk tetap berada dalam koridor sistem manajemen hak cipta yang formal. Mereka mengakui hak pengguna untuk membawakan lagu, tapi juga menegaskan hak mereka sebagai pencipta untuk mendapatkan kompensasi finansial sesuai mekanisme yang berlaku. Ini adalah model 'izin bersyarat' yang mencoba menyeimbangkan keterbukaan dengan perlindungan ekonomi. Rhoma Irama, di sisi lain, tampaknya mengambil sikap yang lebih radikal (dalam artian berbeda secara mendasar) untuk aktivitas menyanyi. Dengan mengizinkan penggunaan gratis di seluruh dunia, beliau mungkin sedang merangkul visi bahwa musik (dalam konteks dinyanyikan) adalah milik bersama, atau setidaknya, akses terhadapnya tidak boleh terhambat oleh urusan finansial bagi yang ingin sekadar menyanyikannya. Sikap ini bisa dilihat sebagai pengakuan akan popularitas universal lagu-lagunya, sekaligus sebagai 'hadiah' bagi para penggemar dan musisi lain di seluruh dunia yang ingin menyanyikan karyanya. Tentu saja, penting untuk memahami batasan dari pernyataan Rhoma Irama ini. Apakah ini berlaku untuk semua jenis penggunaan (misalnya, penggunaan sebagai musik latar di film, iklan, atau untuk sampling)? Pernyataan spesifik "menyanyikan lagu-lagu ciptaannya" mengindikasikan fokus pada performa vokal dari lagu tersebut. Penggunaan lain mungkin memiliki aturan yang berbeda. Dan lagi, interpretasi 'tanpa perlu membayar royalti' dalam konteks komersial yang luas tetap menjadi area yang menarik untuk dilihat bagaimana implementasinya di lapangan berinteraksi dengan sistem LMK. Sementara itu, ada juga musisi lain yang mungkin punya pendekatan serupa dengan yang mensyaratkan LMK. Rian D'Masiv, misalnya, pernah menyampaikan sikap yang sejalan dengan model 'izin bersyarat'. Ia membebaskan siapa saja untuk menyanyikan lagunya, tetapi secara spesifik mengingatkan pihak penyelenggara atau promotor (lagi-lagi, entitas yang biasanya bertanggung jawab atas urusan royalti performing rights di acara live) untuk tetap membayar royalti resmi melalui Lembaga Manajemen Kolektif. Ini semakin memperkuat gambaran bahwa ada tren di kalangan musisi untuk lebih proaktif dalam memberikan izin, tapi dengan pemahaman yang jelas soal bagaimana hak finansial tetap harus dihormati, setidaknya melalui kanal resmi seperti LMK. Ini bukan sekadar "silakan pakai", tapi "silakan pakai, dan tolong penuhi kewajiban royaltinya melalui sistem yang ada". **Implikasi Keputusan Ini: Apa Artinya Bagi Industri Musik dan Kebebasan Bermusik?** Sikap para musisi ini, baik yang mensyaratkan LMK maupun yang (dalam kasus tertentu seperti Rhoma Irama untuk menyanyi) menggratiskan, memiliki implikasi yang cukup signifikan bagi ekosistem musik di Indonesia. **1. Terhadap Perlindungan Hak Cipta:** Bagi yang mensyaratkan LMK, langkah ini adalah bentuk dukungan nyata terhadap sistem manajemen hak cipta kolektif. Ini adalah cara musisi untuk mendidik publik dan pengguna karya bahwa penggunaan komersial itu ada konsekuensinya, yaitu kewajiban royalti, dan ada mekanismenya (LMK). Ini bisa membantu meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap pembayaran royalti, meskipun tantangan dalam penegakan tetap ada. Ini adalah perlindungan hak cipta yang sifatnya kolaboratif, melibatkan pengguna dan lembaga pengelola hak. Sikap Rhoma Irama (menggratiskan menyanyi), di sisi lain, bisa dilihat sebagai sesuatu yang di satu sisi 'mengabaikan' aspek ekonomi dari penggunaan (menyanyi), tetapi di sisi lain justru bisa 'mengamankan' karyanya dari status 'pelanggaran' yang tak terhitung jumlahnya karena lagunya sudah dinyanyikan di mana-mana. Ini perlindungan hak cipta yang unik, di mana 'perlindungan' itu bukan dalam artian melarang atau memonetisasi ketat, tapi justru merangkul penggunaan massal dengan 'memberkahi'-nya. **2. Terhadap Diskusi Lisensi dan Kebebasan Bermusik:** Inilah 'warna baru' yang disebutkan sebelumnya. Keputusan-keputusan ini memperkaya diskusi tentang bagaimana seharusnya karya musik diatur penggunaannya di era digital dan serba terhubung ini. Di satu kutub, ada pandangan tradisional yang sangat ketat soal hak cipta: setiap penggunaan komersial harus seizin penuh pencipta dan diatur dengan lisensi yang jelas serta pembayaran royalti langsung atau via LMK. Ini menekankan aspek properti dan kontrol. Di kutub lain, ada pandangan yang lebih longgar, seringkali terkait dengan konsep 'creative commons' atau bahkan 'public domain' (meskipun lagu-lagu ini tidak otomatis menjadi public domain hanya karena diizinkan gratis), yang menekankan penyebaran, kolaborasi, dan aksesibilitas. Sikap musisi Indonesia ini berada di tengah-tengah, atau bahkan menciptakan spektrum baru. Musisi yang mensyaratkan LMK sedang mencoba menciptakan keseimbangan: memberi kebebasan *lebih* dalam menggunakan (tidak perlu izin *langsung* per kasus, cukup penuhi syarat sistem), tapi tetap menjaga hak ekonomi melalui mekanisme yang ada. Ini adalah model 'izin yang terstruktur'. Sikap Rhoma Irama (untuk menyanyi gratis) jauh lebih condong ke arah kebebasan akses, setidaknya untuk jenis penggunaan tertentu. Ini bisa menginspirasi pemikiran tentang kapan dan dalam konteks apa nilai non-ekonomi dari penyebaran karya bisa lebih diutamakan. Diskusi ini penting karena masa depan industri musik sangat bergantung pada bagaimana model lisensi dan manajemen hak cipta bisa beradaptasi dengan teknologi dan perilaku konsumen yang terus berubah. Apakah model LMK yang ada sudah paling efektif? Apakah perlu ada model lisensi yang lebih fleksibel untuk jenis penggunaan tertentu? Sikap para musisi ini memicu pertanyaan-pertanyaan tersebut. **3. Terhadap Peran Lembaga Manajemen Kolektif (LMK):** Bagi LMK, sikap musisi ini bisa jadi tantangan sekaligus peluang. Bagi yang mensyaratkan LMK, ini adalah dukungan dari kreator, yang seharusnya mempermudah LMK dalam mengumpulkan royalti karena kreatornya sendiri yang 'mengarahkan' pengguna. Namun, ini juga menuntut LMK untuk bisa bekerja lebih efektif dalam mengumpulkan dan mendistribusikan royalti tersebut. Jika musisi sudah memberi izin dengan syarat LMK, tapi royaltinya tetap tidak terkelola dengan baik oleh LMK, maka kepercayaan kreator dan pengguna bisa terkikis. Sikap Rhoma Irama yang menggratiskan penggunaan menyanyi bisa jadi tantangan bagi LMK dalam hal potensi hilangnya sumber royalti dari penggunaan lagu-lagu beliau untuk aktivitas menyanyi komersial, jika memang pernyataan beliau diinterpretasikan mencakup penggunaan komersial yang biasanya masuk ranah LMK. Ini bisa memicu diskusi lebih lanjut tentang jenis-jenis lisensi dan bagaimana LMK beroperasi. **4. Terhadap Pengguna Lagu (Musisi Lain, Penyelenggara Acara, dll.):** Bagi musisi lain yang ingin membawakan karya para kreator ini, ini adalah kabar gembira. Mereka mendapatkan kejelasan soal status penggunaan lagu. Yang mensyaratkan LMK memberi tahu mereka, "Silakan nyanyikan, tapi pastikan royaltinya beres lewat LMK." Ini panduan yang jelas. Yang menggratiskan (untuk menyanyi) memberi kemudahan yang luar biasa. Ini bisa mendorong lebih banyak orang untuk menginterpretasikan dan membawakan lagu-lagu tersebut, yang pada akhirnya bisa menjaga lagu-lagu itu tetap hidup. Bagi penyelenggara acara atau promotor, ini juga memberi kejelasan. Mereka tahu, jika ingin menampilkan lagu dari musisi yang mensyaratkan LMK, mereka punya kewajiban yang harus dipenuhi. Ini membantu perencanaan dan kepatuhan hukum. **Masa Depan Hak Cipta dan Lisensi Musik di Indonesia** Fenomena musisi yang proaktif memberikan izin penggunaan lagu mereka, dengan atau tanpa syarat finansial via LMK, adalah perkembangan yang patut dicermati. Ini menunjukkan adanya upaya dari para kreator untuk tidak hanya 'melawan' pelanggaran, tetapi juga 'merangkul' pengguna dengan cara yang terstruktur atau bahkan sangat bebas, tergantung filosofi masing-masing. Ini adalah sinyal bahwa model tradisional manajemen hak cipta mungkin perlu ditinjau ulang atau dilengkapi dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan transparan, terutama di era digital. Pertanyaan kunci yang muncul adalah: Bagaimana kita bisa menciptakan ekosistem musik yang adil bagi semua pihak? Bagaimana pencipta bisa mendapatkan apresiasi yang layak (termasuk secara finansial), sementara di saat yang sama kreativitas dan akses terhadap musik bisa tetap berkembang bebas? Peran LMK, kesadaran pengguna (mulai dari musisi kafe, EO, hingga platform digital), dan sikap para kreator itu sendiri akan menjadi penentu. Keputusan musisi seperti Rhoma Irama atau mereka yang mensyaratkan LMK adalah bagian dari evolusi ini. Mereka sedang menunjukkan bahwa ada cara lain dalam berinteraksi dengan hak cipta selain sekadar melarang atau menuntut. Ada jalan 'izin', yang meskipun berbeda-beda syaratnya, sama-sama bertujuan untuk membawa musik mereka ke lebih banyak orang, mungkin dengan harapan yang berbeda-beda pula. Ini adalah cerita yang belum selesai. Bagaimana sikap-sikap ini akan memengaruhi praktik di lapangan, bagaimana LMK akan merespons, dan bagaimana pengguna karya akan beradaptasi, semua itu akan membentuk lanskap musik Indonesia di masa depan. Yang jelas, para musisi ini telah membuka sebuah percakapan penting tentang kepemilikan, apresiasi, dan penyebaran karya di era modern. Dan itu, saya kira, adalah kontribusi yang tak kalah berharganya dengan lagu-lagu ciptaan mereka sendiri. Jadi, begitulah. Di tengah kasus hak cipta yang kadang bikin geleng-geleng kepala, ada secercah harapan dari para musisi yang memilih jalur 'izin'. Jalur yang, meskipun dengan syarat yang berbeda, menunjukkan fleksibilitas dan kesadaran bahwa musik itu hidup saat dimainkan, dinyanyikan, dan dinikmati banyak orang. Tinggal bagaimana kita semua, sebagai bagian dari ekosistem ini, bisa menjaga keseimbangan antara apresiasi terhadap kreator dan semangat berbagi dalam bermusik. ---

Fenomena Musisi Indonesia Izinkan Lagu Dipakai: Antara Hak Cipta, Royalti, dan Kebebasan Bermusik

Industri musik Tanah Air, kita semua tahu, seringkali diwarnai dinamika yang cukup... rumit, terutama soal hak cipta. Kasus pelanggaran, sengketa royalti, semua itu seperti menjadi bagian dari cerita sehari-hari. Tapi, di tengah riuhnya persoalan tersebut, ada lho, beberapa musisi kita yang justru mengambil langkah berbeda, langkah yang mungkin terasa kontraintuitif bagi sebagian orang. Mereka, dengan sengaja dan terbuka, mengizinkan lagu-lagu ciptaan mereka untuk dibawakan, dinyanyikan, bahkan direkam ulang oleh penyanyi lain. Ya, Anda tidak salah dengar. Mereka memberi izin.

Ini menarik, kan? Di satu sisi, kita mendengar keluhan soal pembajakan, soal lagu yang dipakai tanpa izin di sana-sini. Di sisi lain, ada kreator yang justru membuka pintu lebar-lebar. Keputusan para musisi ini tentu saja bukan tanpa alasan. Dan yang lebih menarik lagi, ternyata izin yang mereka berikan itu datang dengan 'syarat' yang bervariasi. Tidak semua sama. Ada yang benar-benar membebaskan, tapi ada juga yang, meskipun mengizinkan, tetap menaruh catatan penting terkait urusan 'dapur' industri musik: royalti.

Langkah seperti ini, membebaskan penggunaan karya tapi dengan kondisi atau tanpa kondisi sama sekali, dilihat oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang memberi warna baru dalam diskusi yang sudah lama bergulir: bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan terhadap hak pencipta dengan kebebasan berekspresi atau kebebasan bermusik itu sendiri. Ini bukan cuma soal hukum, ini soal etika, soal filosofi berkarya, dan soal bagaimana ekosistem musik kita ini seharusnya berjalan.

Siapa saja musisi-musisi ini yang berani mengambil sikap seperti itu di tengah 'badai' hak cipta? Dan apa sebenarnya yang membuat pendekatan mereka terhadap izin penggunaan lagu ini berbeda satu sama lain? Mari kita bedah lebih dalam.

Di Tengah Hiruk Pikuk Hak Cipta, Mengapa Ada Musisi yang Mengizinkan?

Kita semua paham, hak cipta itu pondasi penting dalam dunia kreatif. Itu adalah pengakuan hukum atas jerih payah seorang kreator. Tujuannya jelas: melindungi karya agar tidak sembarangan digunakan oleh pihak lain tanpa izin, dan memastikan sang pencipta mendapatkan apresiasi, termasuk dalam bentuk finansial melalui royalti, atas penggunaan karyanya. Di Indonesia, kerangka hukum untuk hak cipta ini sudah ada, dan ada lembaga-lembaga yang ditunjuk untuk mengelola hak-hak tersebut, terutama terkait penggunaan komersial.

Namun, praktik di lapangan seringkali tidak semulus teori. Pelanggaran terjadi di mana-mana, mulai dari penggunaan lagu tanpa izin di tempat-tempat publik, rekaman ulang tanpa lisensi yang memadai, hingga penggunaan digital yang sulit dilacak. Ini yang membuat para pencipta lagu seringkali merasa dirugikan. Royalti yang seharusnya mereka terima, entah ke mana rimbanya.

Nah, di tengah situasi yang penuh tantangan ini, muncullah fenomena beberapa musisi yang justru menyatakan, "Silakan pakai lagu saya." Ini terdengar seperti paradoks. Mengapa, saat orang lain mati-matian memperjuangkan hak mereka yang sering dilanggar, justru ada yang malah mempermudah akses ke karya mereka?

Ada banyak kemungkinan di baliknya. Mungkin ini adalah bentuk keyakinan bahwa musik itu harus disebar, harus hidup melalui banyak interpretasi. Mungkin ini strategi untuk menjaga popularitas lagu agar tetap relevan. Atau, mungkin ini adalah cara untuk secara proaktif mengelola izin, bahkan dengan syarat tertentu, daripada harus repot mengejar-ngejar pelanggaran yang masif dan sulit dikendalikan.

Apa pun alasannya, langkah ini patut dicatat. Ini bukan sekadar kemurahan hati, tapi juga bisa dilihat sebagai respons terhadap realitas industri musik yang terus berubah, di mana cara karya disebar dan dinikmati tidak lagi terbatas pada medium-medium konvensional.

Syarat yang Beragam: Bukan Sekadar 'Boleh', Ada 'Tapi'-nya

Fenomena musisi yang mengizinkan lagunya dipakai ini, seperti disebutkan tadi, ternyata tidak seragam. Ada variasi dalam 'syarat dan ketentuan' yang mereka berlakukan. Dan variasi ini, menurut saya, adalah inti dari diskusi ini. Ini menunjukkan bahwa 'izin' itu sendiri bisa berlapis-lapis, tidak hitam putih.

Salah satu 'syarat' yang paling menonjol dan penting adalah kewajiban bagi pihak yang menggunakan lagu (khususnya untuk tujuan komersial, seperti di panggung atau rekaman yang akan dirilis) untuk membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Ini menarik. Artinya, musisi tersebut tidak melepaskan hak finansial mereka sepenuhnya. Mereka hanya mempermudah 'pintu masuk' penggunaan, tapi kanal kompensasi tetap harus ditempuh.

Mengapa melalui LMK? LMK adalah lembaga yang diamanatkan oleh undang-undang untuk mengumpulkan dan mendistribusikan royalti hak cipta dan hak terkait. Untuk pencipta lagu, LMK mengelola hak cipta performa (public performance rights) dan hak cipta mekanik (mechanical rights). Ketika sebuah lagu dibawakan di konser, diputar di radio/TV, atau direkam ulang, ada potensi kewajiban royalti yang harus ditunaikan melalui LMK.

Dengan mewajibkan pembayaran via LMK, musisi ini sebenarnya sedang melakukan beberapa hal sekaligus:

  1. Mengakui dan Memperkuat Sistem yang Ada: Mereka tidak mengabaikan kerangka hukum dan kelembagaan yang mengatur royalti di Indonesia. Justru, mereka mengarahkan penggunanya untuk melewati jalur resmi.
  2. Mencoba Memastikan Royalti Tetap Sampai: Daripada membiarkan lagu dipakai 'liar' tanpa ada catatan sama sekali, mewajibkan pembayaran via LMK adalah upaya untuk paling tidak ada potensi royalti itu terkumpul dan terdistribusi, meskipun kita tahu proses ini juga punya tantangan tersendiri.
  3. Memberikan Kejelasan Hukum: Dengan adanya syarat yang jelas (bayar via LMK), pengguna lagu jadi tahu apa yang harus mereka lakukan agar penggunaan karya tersebut sah secara hukum dan etika, setidaknya dari sisi pembayaran royalti. Ini mengurangi 'abu-abu' dalam penggunaan karya.

Jadi, bagi musisi yang menerapkan syarat ini, 'izin' itu bukan berarti 'gratis' sepenuhnya untuk semua aspek. Izin itu diberikan untuk menggunakan karyanya, membawakannya, menampilkannya, tapi aspek kompensasi finansial, terutama untuk penggunaan komersial, tetap ada dan diarahkan melalui jalur resmi LMK. Ini adalah bentuk perlindungan hak cipta yang cerdas, memadukan keterbukaan dengan ketegasan soal hak finansial.

Melihat Lebih Dekat: Contoh Kasus dan Sikap Berbeda

Siapa saja musisi yang mengambil langkah-langkah berani ini? Artikel ini menyebutkan setidaknya satu nama besar, tokoh legenda yang pengaruhnya tak terukur dalam sejarah musik Indonesia. Ya, beliau adalah Rhoma Irama.

Rhoma Irama: Sebuah Sikap yang Mengejutkan dan Penuh Makna?

Ini dia yang mungkin paling menarik perhatian. Rhoma Irama, sang Raja Dangdut, sosok yang karya-karyanya begitu melekat di hati masyarakat, membuat pengumuman yang cukup mengejutkan. Melalui kanal YouTube resminya, beliau menyampaikan bahwa siapa pun, di seluruh dunia, di mana pun mereka berada, diizinkan untuk menyanyikan lagu-lagu ciptaannya. Dan yang paling mencengangkan? Tanpa perlu membayar royalti. Ya, Anda tidak salah baca lagi. Gratis, untuk penggunaan menyanyi.

Mari kita cermati baik-baik. Pernyataan ini datang dari seorang pencipta lagu yang katalog karyanya sangat masif dan legendaris. Lagu-lagu beliau sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya populer Indonesia. Mereka dinyanyikan di mana-mana, dalam berbagai konteks. Dan kini, penciptanya sendiri yang membuka pintu seluas-luasnya, bahkan sampai ke kancah global, tanpa menarik pungutan royalti untuk aktivitas menyanyi lagu tersebut.

Sikap Rhoma Irama ini kontras tajam dengan musisi lain yang, meskipun mengizinkan, masih mensyaratkan pembayaran royalti via LMK. Apa makna di balik keputusan ini? Tanpa pernyataan langsung dari beliau yang menjelaskan filosofi secara mendalam (selain pengumuman izin itu sendiri), kita hanya bisa menafsirkan dari tindakan tersebut.

Mungkin, ini adalah bentuk sedekah ilmu, sedekah karya, kepada umat atau kepada sesama penikmat musik di seluruh dunia. Mengingat latar belakang beliau yang juga sangat lekat dengan pesan-pesan moral dan dakwah melalui musik, bisa jadi ini adalah cara beliau agar pesan-pesan dalam lagu-lagunya bisa tersebar lebih luas lagi, tanpa terhalang oleh urusan biaya atau birokrasi perizinan royalti.

Ini juga bisa jadi pengakuan atas kenyataan bahwa lagu-lagu beliau sudah sedemikian merakyat sehingga sulit sekali untuk sepenuhnya mengontrol dan memonetisasi setiap penggunaannya dalam konteks menyanyi. Dengan memberikan izin terbuka, beliau mungkin sedang merangkul fenomena tersebut, mengubah sesuatu yang berpotensi menjadi pelanggaran massal menjadi aktivitas yang 'direstui'.

Tapi perlu digarisbawahi, konteks "menyanyikan" ini juga butuh interpretasi. Apakah menyanyikan di panggung (live performance)? Apakah menyanyikan untuk direkam (mechanical)? Pernyataan spesifik "menyanyikan lagu-lagu ciptaannya" secara umum bisa mencakup keduanya, tapi detail implementasinya yang 'tanpa perlu membayar royalti' untuk penggunaan komersial dalam skala besar bisa jadi memiliki implikasi yang rumit terkait sistem LMK yang ada. Sistem LMK, seperti disebutkan sebelumnya, memang dirancang untuk mengumpulkan royalti dari penggunaan komersial seperti live performance atau rekaman. Jika penciptanya sendiri menyatakan gratis, bagaimana ini berinteraksi dengan sistem LMK? Ini pertanyaan besar yang muncul dari sikap beliau.

Sikap Rhoma Irama ini tidak hanya memberi izin, tapi juga memicu perdebatan (atau setidaknya pemikiran mendalam) tentang nilai sebuah karya. Apakah nilai itu semata-mata ekonomi? Atau ada nilai lain yang lebih besar, seperti penyebaran pesan, pelestarian budaya, atau sekadar kebahagiaan melihat karya itu hidup dan dinikmati banyak orang di mana pun? Dengan memberikan izin menyanyi secara cuma-cuma untuk seluruh dunia, Rhoma Irama seolah menempatkan nilai penyebaran dan aksesibilitas karyanya di atas nilai ekonomi murni dari royalti penggunaan komersial (khusus untuk aktivitas menyanyi itu).

Membandingkan Sikap: Syarat LMK vs. Gratis Sama Sekali

Kontras antara musisi yang mensyaratkan pembayaran via LMK dan Rhoma Irama yang mengizinkan gratis untuk menyanyi sangat jelas. Keduanya sama-sama memberikan 'izin' di tengah maraknya isu hak cipta, tapi dengan pendekatan yang berbeda.

Musisi yang mewajibkan LMK menunjukkan komitmen untuk tetap berada dalam koridor sistem manajemen hak cipta kolektif. Mereka mengakui hak pengguna untuk membawakan lagu, tapi juga menegaskan hak mereka sebagai pencipta untuk mendapatkan kompensasi finansial sesuai mekanisme yang berlaku. Ini adalah model 'izin bersyarat' yang mencoba menyeimbangkan keterbukaan dengan perlindungan ekonomi.

Rhoma Irama, di sisi lain, tampaknya mengambil sikap yang lebih radikal (dalam artian berbeda secara mendasar) untuk aktivitas menyanyi. Dengan mengizinkan penggunaan gratis di seluruh dunia, beliau mungkin sedang merangkul visi bahwa musik (dalam konteks dinyanyikan) adalah milik bersama, atau setidaknya, akses terhadapnya tidak boleh terhambat oleh urusan finansial bagi yang ingin sekadar menyanyikannya. Sikap ini bisa dilihat sebagai pengakuan akan popularitas universal lagu-lagunya, sekaligus sebagai 'hadiah' bagi para penggemar dan musisi lain di seluruh dunia yang ingin menyanyikan karyanya.

Tentu saja, penting untuk memahami batasan dari pernyataan Rhoma Irama ini. Apakah ini berlaku untuk semua jenis penggunaan (misalnya, penggunaan sebagai musik latar di film, iklan, atau untuk sampling)? Pernyataan spesifik "menyanyikan lagu-lagu ciptaannya" mengindikasikan fokus pada performa vokal dari lagu tersebut. Penggunaan lain mungkin memiliki aturan yang berbeda. Dan lagi, interpretasi 'tanpa perlu membayar royalti' dalam konteks komersial yang luas tetap menjadi area yang menarik untuk dilihat bagaimana implementasinya di lapangan berinteraksi dengan sistem LMK.

Sementara itu, ada juga musisi lain yang mungkin punya pendekatan serupa dengan yang mensyaratkan LMK. Rian D'Masiv, misalnya, pernah menyampaikan sikap yang sejalan dengan model 'izin bersyarat'. Ia membebaskan siapa saja untuk menyanyikan lagunya, tetapi secara spesifik mengingatkan pihak penyelenggara atau promotor (lagi-lagi, entitas yang biasanya bertanggung jawab atas urusan royalti performing rights di acara live) untuk tetap membayar royalti resmi melalui Lembaga Manajemen Kolektif.

Ini semakin memperkuat gambaran bahwa ada tren di kalangan musisi untuk lebih proaktif dalam memberikan izin, tapi dengan pemahaman yang jelas soal bagaimana hak finansial tetap harus dihormati, setidaknya melalui kanal resmi seperti LMK. Ini bukan sekadar "silakan pakai", tapi "silakan pakai, dan tolong penuhi kewajiban royaltinya melalui sistem yang ada".

Implikasi Keputusan Ini: Apa Artinya Bagi Industri Musik dan Kebebasan Bermusik?

Sikap para musisi ini, baik yang mensyaratkan LMK maupun yang (dalam kasus tertentu seperti Rhoma Irama untuk menyanyi) menggratiskan, memiliki implikasi yang cukup signifikan bagi ekosistem musik di Indonesia.

Terhadap Perlindungan Hak Cipta:

Bagi yang mensyaratkan LMK, langkah ini adalah bentuk dukungan nyata terhadap sistem manajemen hak cipta kolektif. Ini adalah cara musisi untuk mendidik publik dan pengguna karya bahwa penggunaan komersial itu ada konsekuensinya, yaitu kewajiban royalti, dan ada mekanismenya (LMK). Ini bisa membantu meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap pembayaran royalti, meskipun tantangan dalam penegakan tetap ada. Ini adalah perlindungan hak cipta yang sifatnya kolaboratif, melibatkan pengguna dan lembaga pengelola hak.

Sikap Rhoma Irama (menggratiskan menyanyi), di sisi lain, bisa dilihat sebagai sesuatu yang di satu sisi 'mengabaikan' aspek ekonomi dari penggunaan (menyanyi), tetapi di sisi lain justru bisa 'mengamankan' karyanya dari status 'pelanggaran' yang tak terhitung jumlahnya karena lagunya sudah dinyanyikan di mana-mana. Ini perlindungan hak cipta yang unik, di mana 'perlindungan' itu bukan dalam artian melarang atau memonetisasi ketat, tapi justru merangkul penggunaan massal dengan 'memberkahi'-nya.

Terhadap Diskusi Lisensi dan Kebebasan Bermusik:

Inilah 'warna baru' yang disebutkan sebelumnya. Keputusan-keputusan ini memperkaya diskusi tentang bagaimana seharusnya karya musik diatur penggunaannya di era digital dan serba terhubung ini.

Di satu kutub, ada pandangan tradisional yang sangat ketat soal hak cipta: setiap penggunaan komersial harus seizin penuh pencipta dan diatur dengan lisensi yang jelas serta pembayaran royalti langsung atau via LMK. Ini menekankan aspek properti dan kontrol.

Di kutub lain, ada pandangan yang lebih longgar, seringkali terkait dengan konsep 'creative commons' atau bahkan 'public domain' (meskipun lagu-lagu ini tidak otomatis menjadi public domain hanya karena diizinkan gratis), yang menekankan penyebaran, kolaborasi, dan aksesibilitas.

Sikap musisi Indonesia ini berada di tengah-tengah, atau bahkan menciptakan spektrum baru. Musisi yang mensyaratkan LMK sedang mencoba menciptakan keseimbangan: memberi kebebasan *lebih* dalam menggunakan (tidak perlu izin *langsung* per kasus, cukup penuhi syarat sistem), tapi tetap menjaga hak ekonomi melalui mekanisme yang ada. Ini adalah model 'izin yang terstruktur'.

Sikap Rhoma Irama (untuk menyanyi gratis) jauh lebih condong ke arah kebebasan akses, setidaknya untuk jenis penggunaan tertentu. Ini bisa menginspirasi pemikiran tentang kapan dan dalam konteks apa nilai non-ekonomi dari penyebaran karya bisa lebih diutamakan.

Diskusi ini penting karena masa depan industri musik sangat bergantung pada bagaimana model lisensi dan manajemen hak cipta bisa beradaptasi dengan teknologi dan perilaku konsumen yang terus berubah. Apakah model LMK yang ada sudah paling efektif? Apakah perlu ada model lisensi yang lebih fleksibel untuk jenis penggunaan tertentu? Sikap para musisi ini memicu pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Terhadap Peran Lembaga Manajemen Kolektif (LMK):

Bagi LMK, sikap musisi ini bisa jadi tantangan sekaligus peluang. Bagi yang mensyaratkan LMK, ini adalah dukungan dari kreator, yang seharusnya mempermudah LMK dalam mengumpulkan royalti karena kreatornya sendiri yang 'mengarahkan' pengguna. Namun, ini juga menuntut LMK untuk bisa bekerja lebih efektif dalam mengumpulkan dan mendistribusikan royalti tersebut. Jika musisi sudah memberi izin dengan syarat LMK, tapi royaltinya tetap tidak terkelola dengan baik oleh LMK, maka kepercayaan kreator dan pengguna bisa terkikis.

Sikap Rhoma Irama yang menggratiskan penggunaan menyanyi bisa jadi tantangan bagi LMK dalam hal potensi hilangnya sumber royalti dari penggunaan lagu-lagu beliau untuk aktivitas menyanyi komersial, jika memang pernyataan beliau diinterpretasikan mencakup penggunaan komersial yang biasanya masuk ranah LMK. Ini bisa memicu diskusi lebih lanjut tentang jenis-jenis lisensi dan bagaimana LMK beroperasi.

Terhadap Pengguna Lagu (Musisi Lain, Penyelenggara Acara, dll.):

Bagi musisi lain yang ingin membawakan karya para kreator ini, ini adalah kabar gembira. Mereka mendapatkan kejelasan soal status penggunaan lagu. Yang mensyaratkan LMK memberi tahu mereka, "Silakan nyanyikan, tapi pastikan royaltinya beres lewat LMK." Ini panduan yang jelas. Yang menggratiskan (untuk menyanyi) memberi kemudahan yang luar biasa. Ini bisa mendorong lebih banyak orang untuk menginterpretasikan dan membawakan lagu-lagu tersebut, yang pada akhirnya bisa menjaga lagu-lagu itu tetap hidup.

Bagi penyelenggara acara atau promotor, ini juga memberi kejelasan. Mereka tahu, jika ingin menampilkan lagu dari musisi yang mensyaratkan LMK, mereka punya kewajiban yang harus dipenuhi. Ini membantu perencanaan dan kepatuhan hukum.

Masa Depan Hak Cipta dan Lisensi Musik di Indonesia

Fenomena musisi yang proaktif memberikan izin penggunaan lagu mereka, dengan atau tanpa syarat finansial via LMK, adalah perkembangan yang patut dicermati. Ini menunjukkan adanya upaya dari para kreator untuk tidak hanya 'melawan' pelanggaran, tetapi juga 'merangkul' pengguna dengan cara yang terstruktur atau bahkan sangat bebas, tergantung filosofi masing-masing.

Ini adalah sinyal bahwa model tradisional manajemen hak cipta mungkin perlu ditinjau ulang atau dilengkapi dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan transparan, terutama di era digital. Pertanyaan kunci yang muncul adalah: Bagaimana kita bisa menciptakan ekosistem musik yang adil bagi semua pihak? Bagaimana pencipta bisa mendapatkan apresiasi yang layak (termasuk secara finansial), sementara di saat yang sama kreativitas dan akses terhadap musik bisa tetap berkembang bebas?

Peran LMK, kesadaran pengguna (mulai dari musisi kafe, EO, hingga platform digital), dan sikap para kreator itu sendiri akan menjadi penentu. Keputusan musisi seperti Rhoma Irama atau mereka yang mensyaratkan LMK adalah bagian dari evolusi ini. Mereka sedang menunjukkan bahwa ada cara lain dalam berinteraksi dengan hak cipta selain sekadar melarang atau menuntut. Ada jalan 'izin', yang meskipun berbeda-beda syaratnya, sama-sama bertujuan untuk membawa musik mereka ke lebih banyak orang, mungkin dengan harapan yang berbeda-beda pula.

Ini adalah cerita yang belum selesai. Bagaimana sikap-sikap ini akan memengaruhi praktik di lapangan, bagaimana LMK akan merespons, dan bagaimana pengguna karya akan beradaptasi, semua itu akan membentuk lanskap musik Indonesia di masa depan. Yang jelas, para musisi ini telah membuka sebuah percakapan penting tentang kepemilikan, apresiasi, dan penyebaran karya di era modern. Dan itu, saya kira, adalah kontribusi yang tak kalah berharganya dengan lagu-lagu ciptaan mereka sendiri.

Jadi, begitulah. Di tengah kasus hak cipta yang kadang bikin geleng-geleng kepala, ada secercah harapan dari para musisi yang memilih jalur 'izin'. Jalur yang, meskipun dengan syarat yang berbeda, menunjukkan fleksibilitas dan kesadaran bahwa musik itu hidup saat dimainkan, dinyanyikan, dan dinikmati banyak orang. Tinggal bagaimana kita semua, sebagai bagian dari ekosistem ini, bisa menjaga keseimbangan antara apresiasi terhadap kreator dan semangat berbagi dalam bermusik.

```

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Silfester Matutina Tuding Ada Bohir di Balik Desakan Pemakzulan Gibran

Berikut adalah artikel yang Anda minta, dalam gaya Anderson Cooper yang informal dan menarik, siap untuk dipublikasikan: Skandal Bohir Pemakzulan Gibran: Siapa Dalang di Balik Layar? Skandal Bohir Pemakzulan Gibran: Siapa Dalang di Balik Layar? Anda tahu, di dunia politik, seringkali ada drama yang tersaji di depan mata kita. Tapi, pernahkah Anda berpikir, apa yang sebenarnya terjadi di balik panggung? Siapa yang menarik tali, siapa yang memegang kendali? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan, mencuat dari sebuah pengakuan yang cukup mengejutkan. Ini bukan sekadar desas-desus, ini adalah tudingan serius yang dilemparkan langsung oleh salah satu tokoh di barisan pendukung capres-cawapres yang baru saja memenangkan kontestasi, Bapak Silfester Matutina. Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), baru-baru ini membuat pernyataan yang bisa dibilang mengguncang jagat politik...

KIKO Season 4 Episode THE CURATORS Bawa Petualangan Baru Kota Asri Masa Depan

JAKARTA - Menemani minggu pagi yang seru bersama keluarga, serial animasi KIKO Season Terbaru hadir di RCTI dengan membawa keseruan untuk dinikmati bersama di rumah. Hingga saat ini, KIKO telah meraih lima penghargaan bergengsi di tingkat nasional dan internasional dalam kategori anak-anak dan animasi. Serial ini juga telah didubbing ke dalam empat bahasa dan tayang di 64 negara melalui berbagai platform seperti Disney XD, Netflix, Vision+, RCTI+, ZooMoo Channel, dan Roku Channel. Musim terbaru ini menghadirkan kisah yang lebih segar dan inovatif, mempertegas komitmen MNC Animation dalam industri kreatif. Ibu Liliana Tanoesoedibjo menekankan bahwa selain menyajikan hiburan yang seru, KIKO juga mengandung nilai edukasi yang penting bagi anak-anak Indonesia. Berikut sinopsis episode terbaru KIKO minggu ini. Walikota menugaskan Kiko dkk untuk menyelidiki gedung bekas Galeri Seni karena diduga telah alih fungsi menjadi salah satu markas The Rebel. Kiko, Tingting, Poli, dan Pa...

Khotbah Jumat Pertama Dzulhijjah : Keutamaan 10 Hari Awal Bulan Haji

Khotbah Jumat kali ini mengangkat tema keutamaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Dan hari ini merupakan Jumat pertama di Bulan Haji tersebut bertepatan dengan tanggal 30 Mei 2025. Berikut materi Khotbah Jumat Dzulhijjah disampaikan KH Bukhori Sail Attahiry dilansir dari website resmi Masjid Istiqlal Jakarta. Khutbah ini bisa dijadikan materi dan referensi bagi khatib maupun Dai yang hendak menyampaikan khotbah Jumat. Allah subhanahu wata'ala memberikan keutamaan pada waktu-waktu agung. Di antara waktu agung yang diberikan keutamaan oleh Allah adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah . Keutamaan tersebut memberikan kesempatan kepada umat Islam agar memanfaatkannya untuk berlomba mendapatkan kebaikan, baik di dunia maupun di Akhirat. Hal ini dijelaskan melalui Hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berikut: Artinya: "Dari Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baiknya hari dunia adalah sepuluh...